Memahami Qur’an 10:35: Petunjuk tentang Siapa yang Berhak Diikuti
ppmindonesia.com, Jakarta– Ayat Qur’an 10:35 menampilkan sebuah dialog atau tanya-jawab yang menggugah kesadaran tentang siapa yang paling layak diikuti dalam urusan petunjuk dan kebenaran. Ayat ini menegaskan perbedaan antara Allah, Sang Pemberi Petunjuk (yang tidak membutuhkan arahan dari siapapun), dengan sosok-sosok yang hanya bisa memberi petunjuk karena sebelumnya telah menerima petunjuk.
Berikut bunyi ayat tersebut:
“Katakanlah: ‘Apakah di antara sekutu-sekutu kalian ada yang dapat menunjukkan kepada yang Haq?’ Katakanlah: ‘Allah-lah yang menunjukkan kepada yang Haq.’ Maka apakah yang menunjukkan kepada yang Haq itu lebih berhak diikuti, ataukah yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali dia sendiri diberi petunjuk? Maka, bagaimana kalian mengambil keputusan?” (Q.S. Yunus [10]:35)
Ayat ini mengandung pesan mendalam tentang siapa yang paling pantas dijadikan pedoman dalam kehidupan beragama dan memberikan sinyal akan bahaya kemusyrikan yang samar. Hal ini berkaitan dengan sikap sebagian orang dalam menempatkan peran Nabi dan para rasul setara dengan Allah, secara tidak sadar atau dengan sengaja.
Pembahasan: Petunjuk Langsung vs. Petunjuk yang Diberikan
1. Allah sebagai Pemberi Petunjuk Mutlak
Allah adalah satu-satunya Dzat yang tidak memerlukan arahan atau petunjuk dari makhluk mana pun. Segala yang benar dan hakiki berasal dari-Nya, sehingga hanya Dia yang paling pantas dijadikan tempat bergantung dan pedoman mutlak.
2.Para Rasul sebagai Penyampai Petunjuk
Para rasul hanya dapat memberikan petunjuk setelah mereka sendiri menerima petunjuk dari Allah. Dengan demikian, peran rasul adalah menyampaikan, bukan sebagai sumber petunjuk utama. Ini menunjukkan keterbatasan mereka dibandingkan Allah.
“Kesalahpahaman muncul ketika umat terlalu meninggikan rasul, bahkan hingga menempatkan mereka setara dengan Allah atau memosisikan mereka sebagai sumber petunjuk mutlak.”
3. Bahaya Kemusyrikan Halus: Kultus Sosok Rasul
Dalam sejarah, fenomena ini terjadi berulang kali. Rasul Isa, misalnya, diangkat menjadi “anak Tuhan” oleh sebagian umatnya, yang akhirnya menjerumuskan mereka ke dalam syirik besar. Fenomena serupa terlihat dalam beberapa kalangan Muslim yang menyandingkan nama Allah dengan Nabi Muhammad pada dekorasi, simbol, atau doa, yang menunjukkan penghormatan berlebihan.
Padahal penghormatan yang berlebihan—bahkan kepada Rasulullah—dapat membuka celah bagi kemusyrikan halus. Qur’an dengan tegas mengingatkan bahwa hanya Allah yang mutlak berhak diikuti karena Dia-lah sumber kebenaran yang hakiki.
Refleksi: Peran Rasionalitas dalam Beragama
Ayat ini juga menjadi kritik terhadap sikap beragama yang hanya ikut-ikutan atau taklid buta, tanpa pemahaman dan penelaahan mendalam. Agama bukan sekadar warisan atau kebiasaan sosial, tetapi tuntunan hidup yang menuntut pengkajian dan pengamalan secara sadar.
- Mengikuti sesuatu yang benar tidak cukup hanya karena tradisi atau figur. Apa yang layak diikuti adalah yang menunjukkan kebenaran, yaitu Allah, bukan sosok yang hanya bisa memberi petunjuk setelah menerima arahan.
- Ini memperingatkan kita agar tidak mengandalkan kultus individu atau menjadikan figur rasul sebagai sandaran mutlak. Meski rasul wajib dihormati, tetaplah Allah yang harus dijadikan tempat terakhir untuk bergantung.
Kesimpulan
Qur’an 10:35 dengan tegas mengajarkan bahwa yang berhak diikuti adalah Dia yang menunjukkan kepada kebenaran tanpa perlu menerima petunjuk dari siapapun: Allah SWT. Sementara, sosok rasul dan pemuka agama hanya menjadi perantara, dan mereka pun harus menerima arahan dari Allah untuk bisa membimbing umat.
Kemusyrikan halus dapat muncul saat penghormatan terhadap rasul berkembang menjadi pengkultusan, yang menggeser posisi Allah sebagai satu-satunya sumber petunjuk. Ayat ini mendorong setiap Muslim untuk mengikuti agama secara sadar dan kritis, tidak hanya mengikuti kebiasaan atau figur tertentu, agar terhindar dari kekeliruan teologis.
Dengan demikian, agama yang benar menuntut pemahaman dan pengamalan yang mendalam, bukan sekadar ikut-ikutan atau tradisi turun-temurun. Umat dituntut untuk selalu merujuk kepada Allah sebagai sumber kebenaran mutlak, sekaligus menghormati rasul dalam batas yang wajar, agar tidak terjerumus dalam kesalahan sebagaimana terjadi pada umat terdahulu. (husni fahro)



























