Oleh: Achmadie Thaha, Ma’had Tadabur Al Quran, Alumni IAN Syarif Hidayatullah
ppmindonesia.com, Jakarta, Menjadi saksi dua dunia sepak bola yang berbeda. Di Indonesia, Liga 2 bergulir dengan tensi tinggi saat Persipura berhadapan dengan RANS Nusantara, memberikan tontonan yang murni tentang semangat olahraga. Namun di Amsterdam, Belanda, laga Liga Eropa UEFA 2024/2025 antara Ajax Amsterdam melawan Maccabi Tel Aviv berubah menjadi drama besar yang menyentuh isu global.
Pertandingan yang Tenang, Kota yang Bergejolak
Pertandingan di Johan Cruijff Arena berjalan tanpa kejutan. Ajax menghancurkan Maccabi 5-0, hasil yang mencerminkan perbedaan kualitas kedua tim. Namun, bukan kekalahan telak yang menjadi sorotan, melainkan perilaku buruk para pendukung Maccabi Tel Aviv. Ribuan hooligan yang dikenal bermasalah di liga domestik Israel ini hadir di Amsterdam, membawa provokasi yang melampaui batas.
Sehari sebelum laga, mereka berkeliaran di jalanan kota, meneriakkan slogan rasis seperti “Matilah orang Arab” dan “Tidak ada sekolah di Gaza karena anak-anak Gaza sudah tidak ada.” Pada hari pertandingan, aksi mereka semakin meresahkan: merobek bendera Palestina, menyerang pengemudi taksi Muslim, hingga menciptakan kerusuhan yang tak kunjung ditangani oleh aparat keamanan.
Narasi yang Dibalikkan
Ketika penduduk lokal mulai melawan perilaku arogan ini, muncul istilah “Jews Hunt”—perburuan orang Yahudi—yang digaungkan oleh politisi Israel dan media internasional. Seolah-olah kerusuhan dimulai oleh warga Amsterdam, padahal bukti video jelas menunjukkan aksi provokatif para pendukung Maccabi. Narasi ini memperlihatkan pola yang sering digunakan: pelaku berubah menjadi korban, sementara isu antisemitisme digunakan untuk mengaburkan fakta.
Wali Kota Amsterdam, Femke Halsema, menyebut insiden ini sebagai aksi “hit and run” terorganisir. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan melabelinya sebagai “pembantaian di jalan-jalan Amsterdam” dan mengusulkan evakuasi militer untuk warga Israel di Belanda—klaim yang kemudian ditolak oleh pemerintah Belanda.
Geert Wilders, politisi Belanda yang dikenal anti-Islam, turut memanaskan suasana dengan menyebut Amsterdam sebagai “Gaza di Eropa.” Namun kenyataannya, kerusuhan ini berakar pada provokasi yang dilakukan pendukung Maccabi, bukan pada isu antisemitisme seperti yang dipropagandakan.
Hooliganisme dengan Sentuhan Politik
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa istilah antisemitisme sering digunakan untuk menutupi perilaku buruk yang seharusnya ditindak tegas. Ketika pendukung Maccabi menyerang, merusak, dan meneriakkan kebencian, mereka tetap dilindungi oleh narasi yang dirancang untuk mengalihkan perhatian. Dunia harus bertanya: apakah menolak perilaku brutal ini otomatis dianggap sebagai tindakan antisemitisme?
Kasus di Amsterdam bukanlah tentang kebencian rasial terhadap Yahudi. Ini adalah perlawanan terhadap arogansi yang tidak bisa ditoleransi. Ketika pendukung sepak bola bertindak brutal, melibatkan slogan-slogan kebencian, membakar simbol, dan menyerang warga sipil, dunia tidak boleh terjebak dalam narasi yang mengaburkan fakta.
Pelajaran untuk Sepak Bola dan Dunia
Hooliganisme dengan embel-embel politik adalah ancaman global yang harus dihadapi dengan tegas. Jika ada yang perlu belajar dari peristiwa ini, itu adalah pendukung Maccabi Tel Aviv—tentang bagaimana menjadi tamu yang baik, bagaimana kalah dengan elegan, dan bagaimana menghormati komunitas tuan rumah.
Sementara itu, di Indonesia, mari kita jaga semangat olahraga tetap murni. Biarkan Liga 2 menjadi panggung bagi pemain lokal untuk menunjukkan kemampuan mereka, tanpa terjebak dalam kompleksitas politik internasional. Sepak bola, pada akhirnya, adalah tentang sportivitas dan persatuan—bukan panggung untuk kebencian. (achmadie thaha),