Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Refleksi atas Ayat-ayat Al-Qur’an: Menjawab Pertanyaan tentang Ketaatan dan Kebercukupan Wahyu Allah

50
×

Refleksi atas Ayat-ayat Al-Qur’an: Menjawab Pertanyaan tentang Ketaatan dan Kebercukupan Wahyu Allah

Share this article
Example 468x60

ppmindonesia.com, Jakarta-Ketika kita menelaah ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan, seperti QS. 7:3 yang memerintahkan umat untuk mengikuti apa yang diwahyukan Allah dan melarang mengikuti selainnya, timbul berbagai pertanyaan logis yang patut direnungkan. Dalam realitas umat beragama, ditemukan adanya ajaran-ajaran yang diikuti namun tidak berasal dari wahyu Allah. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar:

1.Apakah ini bukan suatu pelanggaran?
QS. 7:3 secara tegas melarang mengikuti selain kitab yang Allah wahyukan. Ketika umat beragama mengadopsi ajaran yang tidak berasal dari Allah, bukankah itu berarti telah melanggar larangan yang jelas dari Allah?

2.Apakah tidak ada perintah eksplisit untuk hanya mengikuti wahyu Allah?
QS. 6:153 memperkuat larangan mengikuti selain shirath Allah (jalan Allah) karena hal itu menyebabkan munculnya perpecahan (tafaruq) dari jalan Allah. Bukankah Allah telah mewasiatkan larangan ini agar manusia bertakwa?

3.Apakah anda setia pada janji dalam shalat?
Dalam setiap shalat, kita berikrar: “Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”. Ikrar ini adalah bentuk kesetiaan untuk tunduk kepada perintah Allah. Bagaimana sikap kita jika dalam realitas, ketaatan ini dilanggar dengan mematuhi ajaran selain dari wahyu-Nya?

Kebercukupan Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup

Dalam QS. 29:51, Allah bertanya, “Apakah belum cukup bagi mereka Kami turunkan kepada engkau kitab yang dibacakan kepada mereka?” Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an telah mencukupi sebagai pedoman hidup manusia. Jawaban yang Allah perintahkan kepada Rasulullah dan orang-orang beriman adalah, “Cukup.”

Pertanyaannya, apakah kita bersedia menggunakan jawaban ini sesuai perintah Allah? Ayat ini diawali dengan perintah tegas: “Qul kafaa” (Katakanlah: cukup). Maka, jawaban ini bukan hanya pendapat pribadi Rasulullah, tetapi merupakan jawaban yang Allah tetapkan. Dengan mengikuti jawaban ini, kita mengakui bahwa Al-Qur’an telah memadai sebagai pedoman hidup tanpa memerlukan tambahan apa pun.

Allah juga menegaskan dalam QS. 25:31, “Cukuplah Tuhanmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” Jika Allah telah mencukupi sebagai pemberi petunjuk, apakah kita masih membutuhkan sumber lain untuk melengkapi petunjuk yang telah sempurna ini?

Ketercukupan Al-Qur’an sebagai Penjelas Segala Sesuatu

Al-Qur’an sendiri mendalilkan bahwa ia adalah penjelas atas segala sesuatu:

1.QS. 16:89: “… Kami turunkan kepadamu kitab sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

2.QS. 44:3-4: Al-Qur’an diturunkan pada malam penuh berkah sebagai penyelesaian atas segala urusan hukum.

3.QS. 7:52: Allah menjelaskan bahwa kitab ini telah dipasal-pasalkan sebagai ilmu petunjuk yang sempurna.

4.QS. 25:33: Al-Qur’an adalah penafsiran terbaik (ahsana tafsiran).

5.QS. 39:23: Al-Qur’an adalah hadits terbaik (ahsanal hadits).

Dengan semua klaim ini, apakah masih diperlukan tambahan untuk melengkapi petunjuk Al-Qur’an? Jika seseorang merasa perlu tambahan, bukankah itu berarti mereka meragukan ketercukupan wahyu Allah? Bukankah tindakan ini bertentangan dengan QS. 49:16, yang mengecam mereka yang mengajari Allah tentang agama mereka?

Fenomena Penyimpangan dalam Realitas Umat Beragama

Realitas menunjukkan adanya penyimpangan di mana umat beragama mengikuti ajaran yang tidak bersumber dari wahyu Allah tetapi dianggap sebagai bagian dari Islam. Hal ini bertentangan dengan QS. 3:19 yang mendalilkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang berasal dari Allah. QS. 2:23 bahkan menantang siapa saja yang mampu membuat kitab seperti yang Allah turunkan. Jika tidak ada yang sanggup, maka logis untuk menyimpulkan bahwa tidak ada ajaran Islam selain yang termuat dalam wahyu Allah.

Shalat dan Pemahaman Tasbih dalam Perspektif Al-Qur’an

QS .24:41 menyatakan bahwa semua makhluk di langit dan bumi, termasuk burung yang berbaris-baris, telah mengetahui shalat dan tasbihnya. Namun, dalam realitas umat beragama, ditemukan bukti bahwa banyak di antara mereka tidak memahami shalat yang sejati.

1.Apakah mungkin Allah salah menilai?
QS. 29:45 menjelaskan bahwa shalat yang sejati adalah yang mencegah dari perbuatan keji (fahsy) dan mungkar. Dengan demikian, shalat adalah sesuatu yang bersifat universal dan dapat dipahami tidak hanya oleh manusia tetapi juga oleh makhluk lainnya.

2.Apa itu fahsya dan mungkar?
Fahsy adalah sesuatu yang keji, sementara mungkar adalah sesuatu yang tidak dikenal atau tidak diatur. Dengan kata lain, shalat sejati mencegah manusia melakukan tindakan yang keluar dari aturan Allah.

Kembali kepada Al-Qur’an sebagai Satu-satunya Pedoman

Semua dalil ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apakah kita merasa cukup dengan Al-Qur’an, atau justru merasa perlu menambahinya? Jika kita mengakui bahwa Al-Qur’an adalah penjelas terbaik dan telah mencakup segala sesuatu, maka logis untuk menolak tambahan apa pun yang tidak bersumber dari wahyu Allah.

Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna, petunjuk yang lengkap, dan satu-satunya pedoman yang Allah tetapkan bagi manusia. Sikap kita terhadap wahyu ini akan menentukan apakah kita termasuk orang yang setia atau justru menentang perintah Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. 95:8: “Bukankah Allah yang paling menguasai hukum dari semua hakim (ahkamil haakimin)?”

Apakah kita masih ragu terhadap hukum Allah yang sempurna? Jika tidak, maka mari kita teguhkan komitmen untuk mengikuti wahyu Allah sepenuhnya, sebagaimana ikrar kita dalam shalat: “Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”(husni fahro)

Example 120x600