Oleh : Ainur Rofiq, Senior PPM dan Tokoh Pergerakan Pemberdayaan Masyarakat Pusat Peranserta Masyarakat
ppmindonesia.com, Kalitidu-Demokrasi yang dijalankan dengan keliru oleh mereka yang berkuasa atas nama mandat rakyat telah menjadi persoalan serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Ketika penguasa menyimpang dari jalan konstitusi, wakil rakyat di parlemen yang seharusnya menjadi pengawas justru lebih sering bertindak sebagai pemberi restu tanpa kritik. Fenomena ini menciptakan situasi di mana demokrasi berubah menjadi alat legitimasi bagi kezaliman, sementara aspirasi rakyat terabaikan.
Dalam keadaan seperti ini, civil society—masyarakat sipil yang berdaya dan sadar akan hak serta tanggung jawabnya—muncul sebagai satu-satunya pilar yang konsisten menyuarakan kebenaran.
Di tengah kebisuan institusi formal, suara masyarakat sipil terus bergema, meskipun sering kali tidak didengar. Melalui berbagai mimbar, tokoh-tokoh rakyat dengan gigih menyuarakan amanat penderitaan rakyat yang sudah tak tertanggungkan lagi. Mereka menentang tembok kezaliman dan keangkaramurkaan yang telah mengakar, seraya berharap nurani para pejabat negara dapat terbuka dan kembali pada jalur yang benar.
Saat ini, kejahatan dan penyimpangan telah dilegalkan dan diterima sebagai “kebenaran” dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika rakyat berhenti mengingatkan mereka yang berkuasa bahwa yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil, maka azab Allah yang pedih tidak akan terelakkan.
Kehancuran suatu bangsa tidak hanya terjadi karena ulah para penguasa yang zalim, tetapi juga karena diamnya rakyat yang mengetahui kesalahan namun enggan bertindak.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. M. Dawam Rahardjo dalam pengantar buku Secangkir Kopi Max Havelaar karya Zaim Saidi:
“Dalam gerakan civil society, partai politik tidak termasuk di dalamnya. Partai politik adalah bagian dari pemerintah karena mereka dibiayai oleh pemerintah.”
Pernyataan ini menjelaskan mengapa partai politik sering kali lebih berpihak pada kekuasaan daripada rakyat. Alih-alih membela rakyat yang tertindas atas nama pembangunan, wakil rakyat di parlemen justru menjadi aktor yang melegitimasi kebijakan pemerintah, bahkan ketika kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, masyarakat sipil harus tetap konsisten menjadi kekuatan moral yang menyuarakan kebenaran, meskipun menghadapi tantangan berat. Rakyat tidak boleh berhenti menuntut keadilan dan memastikan bahwa demokrasi kembali kepada hakikatnya: alat untuk menciptakan kesejahteraan bersama, bukan sekadar sarana untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang. Jika suara masyarakat sipil terus lantang di ruang senyap, harapan untuk perubahan masih ada, meskipun jalan menuju perbaikan tidaklah mudah. (ainur rofiq)