Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Wacana Kenaikan PPN 12 Persen: Polemik, Sejarah, dan Sikap Politik

188
×

Wacana Kenaikan PPN 12 Persen: Polemik, Sejarah, dan Sikap Politik

Share this article

ppmindonesia.com, Jakarta– Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 terus menuai pro dan kontra. Wacana ini kembali menjadi sorotan setelah berbagai pihak, termasuk fraksi-fraksi di DPR, menyampaikan sikap yang beragam. Berikut penjelasan lebih rinci tentang kebijakan ini, latar belakangnya, hingga dinamika politik yang menyertainya.

Latar Belakang Kenaikan PPN 12 Persen

Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU ini disahkan pada periode 2019-2024, dengan keputusan bahwa PPN akan meningkat secara bertahap: dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022, dan selanjutnya 12 persen pada tahun 2025.

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto, menegaskan bahwa rancangan kenaikan PPN ini diinisiasi oleh PDI Perjuangan (PDIP) ketika fraksi tersebut memimpin Panitia Kerja (Panja) pembahasan UU HPP. Menurut Wihadi, keputusan tersebut dihasilkan melalui proses legislasi yang menjadi tanggung jawab bersama, khususnya oleh pihak yang menginisiasi.

“PPN 12 persen merupakan keputusan UU HPP yang menjadi produk DPR periode 2019-2024. Pada saat itu, PDIP memimpin panja pembahasannya,” ujar Wihadi dalam keterangannya, Minggu (22/12/2024).

Kontroversi Sikap PDIP

Wihadi menyayangkan sikap terbaru PDIP yang kini meminta penundaan atau bahkan pembatalan kenaikan PPN 12 persen. Padahal, kebijakan tersebut sebelumnya telah diusulkan dan dipimpin oleh fraksi mereka. Dalam rapat paripurna DPR pada 5 Desember 2024, anggota Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, menginterupsi untuk meminta Presiden Prabowo Subianto menunda rencana kenaikan PPN ini.

Ketua DPR RI, Puan Maharani, juga menyuarakan kekhawatiran atas dampak kenaikan PPN terhadap sektor usaha, terutama UMKM, industri manufaktur, dan sektor padat karya. Menurut Puan, kebijakan tersebut dapat melemahkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya memicu perlambatan ekonomi dan potensi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Namun, menurut Wihadi, perubahan sikap PDIP ini justru menyudutkan pemerintahan Presiden Prabowo. Ia menilai langkah tersebut tidak konsisten dengan kebijakan yang mereka inisiasi sebelumnya.

“Jika sekarang PDIP meminta penundaan, ini seperti berusaha mencuci tangan dari tanggung jawab. Padahal UU ini adalah produk yang mereka inisiasi saat itu,” tegasnya.

Sikap Pemerintahan Prabowo

Di sisi lain, Wihadi menekankan bahwa Presiden Prabowo telah mengambil langkah-langkah strategis agar kenaikan PPN tidak membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Salah satu strategi tersebut adalah mengarahkan penerapan kenaikan PPN hanya pada barang-barang mewah.

“Pemikiran Pak Prabowo adalah menjaga daya beli masyarakat kecil tetap stabil dan mencegah gejolak ekonomi. Ini adalah langkah yang sangat bijaksana,” kata Wihadi.

Ia juga mengingatkan publik agar tidak menggiring opini bahwa kebijakan kenaikan PPN adalah keputusan pemerintahan Prabowo. “Kenaikan ini bukan keputusan pemerintah saat ini, tetapi amanat UU yang disahkan sebelumnya. Pemerintah hanya menjalankan undang-undang yang ada,” jelasnya.

Tantangan Ekonomi dan Politik

Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 tentu membawa konsekuensi ekonomi yang signifikan. Kebijakan ini diperkirakan akan memengaruhi harga barang dan jasa, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Namun, pemerintah berupaya mengantisipasi dampak ini dengan langkah-langkah mitigasi seperti pengawasan terhadap barang mewah dan perlindungan sektor usaha kecil.

Dinamika politik pun turut memperumit isu ini. Saling tuding antara fraksi-fraksi di DPR menunjukkan bahwa kebijakan ini telah menjadi bagian dari strategi politik masing-masing pihak. Gerindra, sebagai partai pendukung pemerintahan, berupaya menjaga citra Presiden Prabowo sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat kecil. Sementara itu, PDIP yang kini berperan sebagai oposisi, tampaknya mencoba memanfaatkan momentum untuk mengkritisi kebijakan yang mereka inisiasi di masa lalu.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan kebijakan yang tidak bisa dihindari karena sudah menjadi bagian dari UU HPP. Namun, polemik ini mencerminkan pentingnya konsistensi dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan publik. Di sisi lain, pemerintah harus memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak ekonomi yang signifikan, terutama bagi masyarakat kelas bawah dan sektor usaha kecil.
Ke depan, yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana kebijakan ini dapat dilaksanakan dengan adil dan tepat sasaran, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri. (asyary)

 

Example 120x600