Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan: Sebuah Ancaman terhadap Lingkungan dan Masa Depan Bangsa

378
×

Rencana Pembukaan 20 Juta Hektar Hutan: Sebuah Ancaman terhadap Lingkungan dan Masa Depan Bangsa

Share this article
Pengundulan hutan (freepik.com)

ppmindonesia.com, Jakarta – Pemerintah di era Presiden Prabowo berencana mengalihfungsikan 20 juta hektar hutan menjadi lahan untuk kepentingan pangan, energi, dan air.

Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, menyampaikan rencana ini setelah rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 30 Desember 2024. Menurut Raja Juli, lahan hutan cadangan yang telah teridentifikasi akan dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan pangan, energi, dan air.

Namun, rencana ambisius ini memicu kekhawatiran besar dari berbagai pihak. Pengalihfungsian hutan yang luasnya setara dengan dua kali Pulau Jawa ini berpotensi menciptakan kerusakan lingkungan yang signifikan, memperparah krisis iklim, dan memicu konflik sosial.

Ancaman Lingkungan

Deforestasi di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut data Global Forest Watch (GFW) periode 2001-2022, Indonesia kehilangan 10,3 juta hektar tutupan hutan. Jika rencana pembukaan 20 juta hektar hutan ini dilaksanakan, angka deforestasi akan melonjak drastis, sekaligus melemahkan komitmen pemerintah untuk mencapai net zero emission (NZE).

Ironisnya, langkah ini bertentangan dengan komitmen yang disampaikan delegasi Indonesia pada COP29 di Azerbaijan, di mana Indonesia berjanji untuk melakukan reforestasi seluas 12,7 juta hektar hutan.

Selain itu, hilangnya tutupan hutan akan menyebabkan kerusakan biodiversitas. Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas, menyumbang 2.432 spesies terancam punah di Asia Tenggara dan Asia Selatan, mulai dari mamalia hingga tumbuhan.

Pembukaan hutan juga akan memperparah risiko kebakaran hutan, terutama jika kawasan gambut turut dibuka, yang pada akhirnya akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.

Konflik Sosial dan Ekologis

Rencana ini juga memicu kekhawatiran konflik agraria dan ketidakadilan terhadap masyarakat adat yang hidup di sekitar kawasan hutan. Penggusuran masyarakat setempat untuk proyek ini akan mengancam mata pencaharian mereka dan berpotensi menciptakan pengungsi iklim, khususnya masyarakat yang hidup di pesisir.

Ketua PURT DPD RI, Hasan Basri, menilai bahwa langkah membuka 20 juta hektar hutan adalah ancaman serius bagi lingkungan dan masa depan bangsa. Menurutnya, janji-janji pemerintah sebelumnya terkait program serupa, seperti Food Estate di era pemerintahan Joko Widodo, tidak membuahkan hasil nyata. Program tersebut bernilai ratusan miliar rupiah, tetapi gagal meningkatkan swasembada pangan dan justru tetap bergantung pada impor.

Alternatif Solusi

Hasan Basri menekankan pentingnya pemberdayaan lahan yang telah tersedia daripada membuka hutan baru. Ia menyarankan agar pemerintah fokus pada intensifikasi pertanian, yaitu mengoptimalkan lahan yang sudah ada untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Selain itu, modernisasi pertanian, seperti perbaikan penyuburan tanah, penggunaan bibit unggul, dan tata cara panen yang efektif, juga harus menjadi prioritas.

Hasan juga mengkritik status kawasan hutan di Pulau Kalimantan yang banyak merugikan masyarakat, termasuk desa-desa yang tidak seharusnya berstatus kawasan hutan. Ia meminta pemerintah untuk mengevaluasi status kawasan hutan secara adil agar kebijakan yang diambil memberikan kepastian hukum, kesejahteraan, dan keadilan bagi rakyat.

Kritik terhadap Pemerintah

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, menilai bahwa langkah ini adalah bentuk legalisasi deforestasi yang berpotensi menciptakan “kiamat ekologis.” Ia menegaskan bahwa pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan, seharusnya menjadi penjaga hutan, bukan justru perancang penghancurannya atas nama pangan dan energi.

Menurutnya, narasi ketahanan pangan dan energi yang diusung pemerintah hanya menjadi alat legitimasi untuk menyerahkan lahan kepada korporasi besar. Selama pengelolaan pangan dan energi masih berorientasi pada bisnis, keadilan bagi rakyat dan lingkungan tidak akan terwujud. Sebaliknya, krisis sosial dan ekologis akan semakin tajam.

Rencana pembukaan 20 juta hektar hutan ini merupakan langkah yang kontradiktif dengan komitmen lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan yang lebih arif dan berkelanjutan, seperti mengoptimalkan lahan yang sudah ada dan melibatkan masyarakat setempat sebagai aktor utama dalam produksi pangan dan energi. Hutan bukan sekadar sumber daya, melainkan warisan yang harus dijaga demi masa depan bangsa dan planet ini.(asyary)

Example 120x600