ppmindonesia.com, Jakarta – Krisis harga cabai yang berulang setiap tahun menjadi cerminan nyata dari kompleksitas tata kelola sektor pertanian di Indonesia. Pada Desember 2024, Kementerian Pertanian mencatat produksi cabai rawit mencapai 90.272 ton, sementara kebutuhan bulanan hanya 83.430 ton.
Secara neraca, ini menunjukkan surplus sebesar 6.842 ton. Namun, di lapangan, lonjakan harga cabai hingga Rp100.000 per kilogram di beberapa wilayah, seperti Kota Bogor, menunjukkan bahwa surplus produksi tidak selalu berarti kestabilan harga.
Masalah ini bukanlah hal baru. Kenaikan harga cabai kerap terjadi setiap menjelang akhir tahun, Ramadan, atau Idulfitri. Sayangnya, pemerintah belum optimal dalam membenahi pola tanam, distribusi, dan tata niaga cabai.
Beberapa daerah mengalami kesulitan dalam menanam cabai rawit secara efisien, terutama karena tantangan cuaca, seperti musim hujan yang memicu penyakit tanaman, misalnya rontok fusarium. Hal ini semakin memperburuk ketidakmerataan pasokan cabai di pasar.
Selain faktor produksi, sistem distribusi cabai juga menjadi penyebab utama krisis harga. Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurti, menjelaskan bahwa kebutuhan cabai di Indonesia terbagi menjadi dua: konsumsi rumah tangga dan industri HOREKA (hotel, restoran, kafe).
Seluruh kebutuhan ini dipasok oleh petani yang sama. Namun, kontrak pasokan dengan industri sering kali mengurangi alokasi cabai untuk pasar umum, sehingga menimbulkan kelangkaan dan lonjakan harga.
Ironisnya, petani sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan dalam situasi ini. Industri biasanya menentukan harga cabai jauh sebelum panen, meskipun mereka memberikan dukungan berupa bibit dan pupuk. Ketika harga cabai melonjak di pasar, petani tidak mendapat manfaat yang sepadan. Sebaliknya, ketika harga anjlok, mereka terpaksa menanggung kerugian besar. Pola ini menciptakan ketimpangan yang terus berulang dari waktu ke waktu.
Pendekatan pemerintah dalam mengatasi krisis harga cabai cenderung reaktif dan parsial. Operasi pasar atau sidak yang dilakukan biasanya hanya difokuskan pada komoditas tertentu, seperti beras atau minyak goreng. Sementara itu, cabai dan komoditas pangan mudah rusak lainnya sering kali tidak mendapatkan perhatian serius.
Padahal, tata kelola dari hulu hingga hilir sangat diperlukan untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Solusi untuk mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pemerintah perlu mendampingi petani mulai dari pra-panen hingga pasca-panen. Kebijakan yang mengatur pola tanam, distribusi, dan penentuan harga secara adil harus segera dirancang.
Selain itu, pemerintah perlu menciptakan regulasi yang berpihak pada petani tanpa merugikan konsumen. Dengan begitu, kestabilan harga dapat terwujud, dan petani dapat menikmati hasil kerja keras mereka secara layak.
Sebagai negara agraris dengan lahan subur yang melimpah, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengelola sektor pertanian secara efisien. Namun, tanpa perencanaan yang matang dan tata kelola yang terintegrasi, potensi ini hanya akan menjadi peluang yang terabaikan.
Krisis harga cabai hanyalah salah satu contoh dari banyak permasalahan di sektor pertanian. Jika dikelola dengan baik, Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga menjadi kekuatan besar di pasar global.(asyary)