ppmindonesia.com, Jakarta – Pernyataan dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ (4:9) yang menyerukan kewaspadaan agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah merupakan salah satu pesan kewaspadaan yang sangat penting dan mendapat perhatian besar dari umat manusia.
Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah antusiasme masyarakat dalam mempersiapkan kebutuhan hidup ini didorong oleh ketaatan terhadap perintah Al-Qur’an, ataukah sekadar didorong oleh keserakahan? Hal ini sulit dipetakan secara tegas, tetapi realitas menunjukkan bahwa mayoritas manusia berusaha keras untuk memastikan ketersediaan kebutuhan hidup dengan segala cara. Sayangnya, hanya sedikit yang bertindak dengan keadilan dan martabat.
Motivasi dan Ujian Kehidupan
Dorongan untuk mempersiapkan kebutuhan duniawi tampaknya menjadi salah satu motivasi terkuat dalam kehidupan manusia (lihat QS Ali Imran:14 dan Al-A’la:16-17). Bahkan, ada yang berupaya mempersiapkan kebutuhan hingga tujuh turunan, sebagaimana istilah yang populer.
Meski demikian, berbekal untuk hidup tidak hanya tentang kekayaan materi. Yang jauh lebih penting adalah kecerdasan religius yang menjadi benteng ketahanan iman. Hal ini penting untuk menyeimbangkan antara pengelolaan bekal duniawi dan bekal akhirat, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Qashash (28:77) bahwa urusan akhirat harus lebih diutamakan.
Prioritas Akhirat sebagai Ujian Kehidupan
Urusan akhirat yang lebih utama dibandingkan urusan dunia menjadi gelanggang ujian kesungguhan iman dan pengabdian manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa dunia ini dijadikan indah di mata manusia (QS Ali Imran:14) untuk menguji siapa yang paling baik amalnya (QS Yunus:14, Al-Kahfi:7, Al-Mulk:2).
Dalam QS Al-Insan (76:1-3), manusia dijelaskan diciptakan dari sperma yang bercampur, diberikan pendengaran dan penglihatan, serta ditunjukkan jalan hidup untuk memilih menjadi orang yang bersyukur atau kufur.
Manusia, sejak awal kehadirannya di bumi, ditempatkan untuk menghadapi ujian prestasi kehidupan. Ujian ini meliputi dua jenis: sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang tidak menyenangkan (QS Al-Anbiya:35). Ujian tersebut bertujuan untuk mengukur tingkat kesungguhan manusia dalam beriman (QS Muhammad:31). Kesungguhan iman yang disebutkan dalam QS Al-Ankabut (29:69) dijanjikan akan mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan dalam QS Al-Hajj (22:78) dinyatakan bahwa kesungguhan yang logis menjadikan seseorang hamba pilihan Allah tanpa kesulitan dalam agama.
Bahaya Pengakuan Iman yang Dangkal
Al-Qur’an juga memperingatkan bahaya pengakuan iman yang tidak disertai kedalaman keyakinan. Dalam QS Al-Hujurat (49:14), orang yang mengaku beriman diperingatkan bahwa iman belum masuk dalam hati mereka.
Sosok orang yang imannya telah tertanam dalam hati adalah mereka yang membenci segala bentuk kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, serta mencintai keimanan (QS Al-Hujurat:7). Oleh karena itu, kewaspadaan untuk membina generasi yang kuat harus menjadi perhatian serius agar iman dan martabat mereka tetap terjaga.
Kewaspadaan terhadap Harta dan Warisan
Kewaspadaan yang ditegaskan dalam QS An-Nisa’ (4:9) juga mencakup menjaga marwah keluarga sepeninggal seseorang. Sering kali, keluarga yang awalnya baik-baik saja dapat mengalami keruntuhan martabat akibat generasi penerus yang tidak terbina dengan baik.
Konflik dalam keluarga terkait pembagian harta warisan menjadi salah satu pemicu keretakan tersebut. Al-Qur’an memberikan tata kelola pembagian harta warisan secara seksama (QS An-Nisa:9-11) dan memperingatkan agar tidak terjebak dalam cinta berlebihan terhadap harta (QS Al-A’raf:50-51).
Menghindari Sikap Bermain-Main dalam Agama
Orang yang tidak serius dalam agama disebutkan dalam QS Al-A’raf (7:50-51) sebagai mereka yang menjadikan agama sebagai main-main dan terpedaya oleh kehidupan dunia. Mereka yang demikian diancam dengan nasib tragis, meskipun merasa memiliki amal yang baik (QS Al-Kahfi:103-106). Oleh sebab itu, kesungguhan dalam beragama adalah hal yang sangat krusial.
Kewaspadaan dalam membina generasi yang kuat, baik secara spiritual maupun material, adalah kewajiban yang tidak dapat diabaikan. Hal ini mencakup menjaga diri dan keluarga dari siksa neraka (QS At-Tahrim:6) dengan memastikan generasi penerus memiliki kecerdasan religius dan integritas moral.
Melalui kewaspadaan ini, diharapkan generasi mendatang dapat memperbaiki apa yang belum baik dan menjadi umat yang lebih baik dalam menjalankan amanah kehidupan dunia dan akhirat.(hsni fahro)