ppmindonesia.com, Jakarta – Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa penting dalam tradisi Islam yang terus diperingati hingga kini, terutama di Indonesia.
Kisah ini dikenal luas sebagai perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem (Isra’), dilanjutkan dengan perjalanan spiritual ke Sidratul Muntaha (Mi’raj).
Namun, di balik narasi monumental ini, muncul berbagai pertanyaan kritis tentang bagaimana kisah tersebut dipahami, dihubungkan dengan Al-Qur’an, dan dilestarikan dalam budaya umat Islam.
Telaah kritis terhadap Al-Qur’an diperlukan untuk mengungkap sejauh mana mitos Isra’ Mi’raj memiliki dasar yang kokoh dalam kitab suci.
Isra’ dalam Perspektif Al-Qur’an
Pusat perdebatan terkait Isra’ Mi’raj sering kali merujuk pada Surah Al-Isra’ ayat 1:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.”
Secara umum, ayat ini dipahami sebagai rujukan kepada perjalanan fisik dan spiritual Nabi Muhammad SAW. Namun, tafsir ini menuai kritik dari sebagian kalangan yang mempertanyakan apakah ayat tersebut benar-benar berbicara tentang Isra’ Mi’raj.
Salah satu argumen yang sering diajukan adalah terkait dengan penggunaan kata asraa. Kata ini, dalam konteks ayat lain seperti Surah Al-Anfal ayat 67 dan 70, diartikan sebagai “tawanan” atau “menawan.”
Jika makna tersebut diterapkan pada Surah Al-Isra’, maka interpretasi tradisional tentang perjalanan fisik Nabi Muhammad SAW bisa diperdebatkan.
Lebih jauh lagi, ayat ini tidak menyebutkan Mi’raj atau perjalanan ke langit, yang merupakan bagian integral dari narasi Isra’ Mi’raj dalam tradisi Islam.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Isra’ Mi’raj seperti yang kita pahami sekarang benar-benar didasarkan pada Al-Qur’an, ataukah lebih banyak berakar pada tradisi lisan dan hadis?
Membedah Narasi Mi’raj
Berbeda dengan Isra’, Mi’raj lebih banyak dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi, yang sering kali memuat rincian tentang perjalanan ke Sidratul Muntaha, pertemuan dengan para nabi, hingga dialog dengan Allah SWT tentang jumlah rakaat salat yang difardukan. Namun, narasi ini juga menimbulkan beberapa keraguan:
1.Kontradiksi dengan Konsep Ketetapan Ilahi
Dalam narasi Mi’raj, disebutkan adanya proses tawar-menawar antara Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT terkait jumlah salat harian, dari 50 rakaat menjadi 5 rakaat. Hal ini bertentangan dengan Surah Al-Ahzab ayat 38, yang menegaskan bahwa tidak ada keberatan atas apa yang telah difardukan oleh Allah, dan ketetapan-Nya bersifat final.
2.Keabsahan Perjalanan Fisik
Banyak ulama mendebatkan apakah Mi’raj adalah perjalanan fisik atau sekadar pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks Al-Qur’an, tidak ada ayat eksplisit yang menyebutkan Mi’raj sebagai perjalanan fisik ke langit.
3.Pengaruh Budaya dan Tradisi Lokal
Kisah Isra’ Mi’raj sering kali diberi warna budaya lokal dalam berbagai masyarakat Muslim. Di Indonesia, misalnya, peringatan Isra’ Mi’raj dilakukan dengan cara yang sangat khas, yang bahkan tidak ditemukan di negara-negara Timur Tengah.
Hal ini menunjukkan bahwa narasi Isra’ Mi’raj tidak hanya bersifat teologis tetapi juga dipengaruhi oleh faktor budaya.
Relevansi Makna “Asraa” dan Tafsir Kontekstual
Jika ayat 1 Surah Al-Isra’ tidak berbicara tentang perjalanan fisik Nabi, lalu apa maknanya? Beberapa penafsir modern melihat ayat ini sebagai penggambaran simbolis perjalanan spiritual seseorang menuju penghayatan ayat-ayat Allah.
Istilah “Masjidil Haram” dapat dipahami sebagai simbol kebenaran (al-haqq), sementara “Masjidil Aqsa” menggambarkan titik akhir penghayatan manusia terhadap realitas ilahi.
Frasa “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami” menekankan pentingnya perjalanan batin untuk memahami kebesaran Allah melalui refleksi, ketundukan, dan ibadah.
Dengan demikian, ayat ini lebih relevan jika dipahami sebagai bimbingan moral dan spiritual bagi umat manusia, daripada sekadar catatan sejarah perjalanan Nabi.
Implikasi Sosial dan Teologis
Penyalahpahaman terhadap ayat Al-Qur’an dapat menimbulkan dampak yang luas, baik secara sosial maupun teologis.
Mitos tentang Isra’ Mi’raj yang didasarkan pada penafsiran tertentu bisa mengarahkan umat pada pemahaman agama yang lebih bersifat dogmatis dan ritualistik, ketimbang pemahaman yang berbasis refleksi dan penghayatan.
Hal ini juga dapat mengalihkan perhatian dari pesan universal Al-Qur’an, yaitu untuk menjadi pedoman kehidupan yang membawa kedamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Langkah Menuju Pemahaman yang Kritis
1.Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an
Memahami Al-Qur’an tidak hanya memerlukan pengetahuan tentang bahasa Arab, tetapi juga konteks sejarah, sosial, dan budaya saat ayat diturunkan. Hermeneutika memberikan kerangka untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara mendalam dan relevan dengan kehidupan modern.
2.Penguatan Literasi Al-Qur’an
Umat Islam perlu didorong untuk membaca Al-Qur’an secara langsung dan kritis, bukan hanya mengandalkan narasi yang berkembang dalam tradisi. Dengan pemahaman yang baik, umat dapat membedakan mana yang merupakan inti pesan Al-Qur’an dan mana yang merupakan tambahan dari tradisi.
3.Dialog Antarmazhab dan Pendekatan Multidisipliner
Kajian kritis terhadap narasi seperti Isra’ Mi’raj memerlukan dialog terbuka antarmazhab dan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ahli tafsir, sejarawan, dan ilmuwan sosial.
Kesimpulan
Isra’ Mi’raj, sebagaimana dipahami dalam tradisi Islam, merupakan kisah yang memiliki nilai spiritual dan simbolis yang dalam. Namun, memahami peristiwa ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjebak dalam mitos yang jauh dari konteks Al-Qur’an.
Telaah kritis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, seperti Surah Al-Isra’ ayat 1, menunjukkan bahwa narasi Isra’ Mi’raj perlu dipahami ulang berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika Al-Qur’an.
Dengan demikian, umat Islam dapat mengambil hikmah yang lebih besar dari pesan-pesan Al-Qur’an yang relevan dengan kehidupan mereka, tanpa terbebani oleh narasi-narasi yang tidak berdasar. (husni fahro)