ppmindonesia.com. Jakarta – Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia akan senantiasa diuji untuk membuktikan kesungguhan dan keteguhan imannya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Muhammad (47:31):
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu sehingga jelas siapa yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu, dan Kami akan menguji berita tentang kamu.”
Ayat ini memberikan peringatan bahwa setiap manusia akan mengalami ujian hingga tampak siapa yang bersungguh-sungguh dalam pengabdiannya kepada Allah. Ujian tersebut datang dalam dua bentuk, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Anbiya’ (21:35) dan Al-An’am (6:42): ujian dengan sesuatu yang menyenangkan (bil-khair) serta ujian yang tidak menyenangkan (bis-sarri).
Tujuan dari semua itu adalah agar manusia semakin mendekatkan diri kepada Allah dan membuktikan kesungguhannya dalam menjalankan amanah kekhalifahan di bumi, sebagaimana disebutkan dalam surah Yunus (10:13).
Ujian sebagai Keniscayaan dalam Penciptaan Manusia
Sejak awal penciptaannya, manusia telah ditetapkan untuk menghadapi berbagai ujian. Pertanyaannya bukanlah apakah manusia akan diuji, melainkan bagaimana kesiapan dan kesungguhannya dalam menghadapi tantangan tersebut. Keberhasilan seseorang dalam mengarungi kehidupan dan meraih prestasi terbaik dalam pengabdian bergantung pada rangkaian tindakan yang dipilih dan dijalankan.
Dalam menghadapi ujian ini, manusia membutuhkan bimbingan ilahi. Al-Qur’an menegaskan dalam surah An-Nisa’ (4:114):
“Tiada kebaikan dalam banyak pembicaraan mereka, kecuali orang yang menyuruh (manusia) untuk bersedekah, berbuat baik, atau mendamaikan di antara manusia.”
Konsep ishlahin bainan nas (perbaikan di antara umat manusia) dalam ayat ini menjadi tolok ukur kesungguhan manusia dalam membangun peradaban yang lebih baik.
Namun, perbaikan tersebut harus diawali dengan kebaikan sosial (amaro bi ma’rufin) yang dibangun atas dasar keikhlasan dalam memberi (amaro bi shodaqatin). Keberhasilan dalam membangun peradaban manusia diukur dari sejauh mana seseorang mampu merumuskan langkah-langkah perbaikan demi kemaslahatan umat.
Tantangan Keimanan dan Ketahanan dalam Ujian
Manusia kerap diuji dengan kondisi yang amat genting. Dalam surah Al-Baqarah (2:214), Ali Imran (3:142), dan At-Taubah (9:16), Allah memperingatkan bahwa tidaklah seseorang dapat berharap masuk surga tanpa melalui ujian berat sebagaimana yang dialami umat terdahulu.
Bahkan dalam kondisi ekstrem, Rasulullah dan para sahabat pernah merasakan kesulitan yang sangat besar hingga berkata, “Kapankah pertolongan Allah datang?” Lalu dijawab, “Ketahuilah bahwa pertolongan Allah itu dekat.”
Ketegangan dalam menghadapi ujian keimanan juga dijelaskan dalam surah Al-Ahzab (33:10-12). Ayat ini menggambarkan bahwa pada saat krisis, ada orang yang tetap bertahan dalam keimanan, sementara ada pula yang goyah dan mulai meragukan pertolongan Allah.
Ujian dalam kondisi genting ini bertujuan untuk menyingkap siapa yang benar-benar teguh dalam keimanan dan siapa yang hanya mengikuti keimanan secara lahiriah tanpa keteguhan hati.
Keteladanan Nabi Ibrahim dalam Kesungguhan Iman
Jika seseorang mencari figur keteladanan dalam ujian keimanan, maka Nabi Ibrahim adalah contoh terbaik. Beliau lulus dalam ujian keimanan dengan nilai sempurna, sehingga Allah memilihnya sebagai pemimpin umat manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Baqarah (2:124):
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia.’”
Kesungguhan Ibrahim terlihat jelas ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Ismail. Tindakan ini menunjukkan bahwa cintanya kepada Allah lebih utama daripada cintanya kepada anaknya sendiri. Selain itu, keberanian dan kecerdasannya dalam mempertahankan keyakinannya juga tergambar dalam peristiwa ketika kaumnya hendak membakarnya, namun ia dengan penuh keyakinan berkata:
“Sungguh, aku pergi menuju Tuhanku, Dia akan memberiku petunjuk.” (QS As-Saffat: 99)
Dalam berbagai ujian, Nabi Ibrahim selalu kembali kepada Allah. Sikap ini menunjukkan bahwa beliau tidak bermazhab kepada manusia, melainkan hanya berpegang teguh kepada petunjuk Tuhannya. Itulah sebabnya Al-Qur’an berkali-kali menegaskan agar umat manusia mengikuti Millah Ibrahim, sebagaimana disebutkan dalam surah Ali Imran (3:95), An-Nisa’ (4:125), dan Al-An’am (6:161).
Teladani Ibrahim: Iman, Amal, dan Perjuangan untuk sesama.
Kewaspadaan yang disampaikan dalam surah Muhammad (47:31) mengingatkan manusia bahwa perjalanan hidup ini penuh dengan ujian. Keberhasilan dalam ujian iman bukan hanya diukur dari keteguhan dalam menghadapi kesulitan, tetapi juga dari sejauh mana seseorang berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih baik melalui keikhlasan dan tindakan nyata dalam perbaikan sosial (ishlahin bainan nas).
Keteladanan Nabi Ibrahim menjadi bukti nyata bahwa kesungguhan iman tidak hanya terletak pada keyakinan, tetapi juga dalam kesediaan untuk melaksanakan perintah Allah tanpa ragu. Oleh karena itu, mengikuti jejak Millah Ibrahim berarti menapaki jalan kesungguhan dalam beriman, beramal, dan berjuang demi kemaslahatan umat manusia.
Dengan memahami konsep ini, diharapkan setiap individu mampu menjadikan setiap ujian sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan pengabdian kepada Allah, serta berperan aktif dalam perbaikan umat manusia sesuai dengan petunjuk-Nya. (husni fahro)