Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

IQRA’ dan Landasan Pemikiran dalam Memahami Wahyu

75
×

IQRA’ dan Landasan Pemikiran dalam Memahami Wahyu

Share this article

Oleh; Lalu Agus Sarjana, Aktifis dan Tokoh Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) NTB

ppmindonesia.com.Jakarta– Perintah IQRA‘ menjadi pokok persoalan dalam kehidupan manusia, karena ia bukan sekadar ajakan membaca dalam arti harfiah, tetapi merupakan sebuah konsep yang lebih luas dan mendalam. Dalam menjawab perintah ini, timbul dilema: Apa yang harus dibaca? Bagaimana cara membacanya?

Sering kali, pemahaman yang berkembang di kalangan kaum muslimin adalah bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak bisa membaca dalam arti buta huruf (ummiy).

Namun, logika akal sehat menolak pandangan ini. Bagaimana mungkin seorang yang mendapat gelar Al-Amin, sukses berdagang hingga ke negeri Syam, menjadi tokoh penting dalam Hilful Fudhul, serta dihormati oleh masyarakat Quraisy sebagai sosok yang terpercaya, dikatakan buta huruf?

Semua ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bukan seorang yang tidak bisa membaca dalam arti tidak memahami bacaan atau informasi.

Oleh karena itu, ketika perintah IQRA’ disampaikan kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam wahyu pertama, maka ungkapan ما أنا بقارئ seharusnya tidak dipahami sebagai “Saya tidak bisa membaca,” melainkan lebih tepat ditafsirkan sebagai “Apa yang harus saya baca?” atau “Bagaimana cara saya membacanya?”.

Dalam bahasa Arab, kata “ما” pada kalimat ini dapat bermakna “isim maushul” (kata sambung yang berarti “apa yang”), bukan “ma nafiyah” (kata penafian yang berarti “tidak”).

Jika merujuk pada firman Allah dalam Surat An-Najm (53:3-4):

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ ۝ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌۭ يُوحَىٰ

“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara menurut keinginannya. Ucapannya tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.”

Maka, dapat dipahami bahwa Rasulullah ﷺ tidak serta-merta menjawab perintah membaca itu dengan spontan berdasarkan nalarnya sendiri, melainkan menunggu jawaban perintah yang datang dari wahyu.

Kekeliruan dalam Memahami Ummiy

Sebagian kaum muslimin merasa bangga dengan anggapan bahwa Rasulullah ﷺ adalah seorang ummiy dalam arti buta huruf, tetapi mampu mengajarkan Al-Qur’an.

Padahal, pemaknaan ini justru mencerminkan pemahaman yang kurang tepat dan cenderung merendahkan kecerdasan beliau. Akibatnya, berkembang pemikiran yang tidak rasional, seperti anggapan bahwa seseorang bisa memiliki ilmu tanpa belajar (ilmu laduni atau ilmu weruh sak durunge winarah) yang justru bertentangan dengan prinsip IQRA’ itu sendiri.

Dalam kajian bahasa, kata IQRA’ tidak hanya bermakna “membaca” dalam arti tekstual, tetapi juga mencakup menelaah, menyampaikan, memahami, dan merenungkan.

Ayat pertama dalam Surat Al-‘Alaq menyebutkan bahwa yang harus dibaca adalah realitas semesta (kosmos) dengan menyebut nama Tuhan (بِٱسْمِ رَبِّكَ). Ini menegaskan bahwa membaca bukan hanya sekadar mengeja tulisan, tetapi juga memahami, menghubungkan, dan menerapkan ilmu dalam kehidupan.

Jawaban Perintah IQRA’ adalah Bismillah

Dalam teori ilmu ma’ani, Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ dengan dhamir (ك), yaitu sebagai pihak kedua dalam perintah IQRA’.

Namun, Rasulullah ﷺ tidak serta-merta menjawab sendiri, melainkan menunggu petunjuk wahyu. Oleh karena itu, jawaban perintah membaca itu bukanlah sekadar “saya tidak bisa membaca,” tetapi justru dimulai dengan “بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ”.

Ibnu Abbas dan Aisyah meriwayatkan bahwa wahyu pertama yang turun diawali dengan Bismillah. Dalam konteks ini, dhamir (ك) pada IQRA’ berubah menjadi mutakallim wahdah atau dhamir orang pertama (أنا) dalam بِسْمِ ٱللَّهِ.

Ini menunjukkan bahwa ketika membaca dalam konteks wahyu, seorang hamba harus melakukannya dengan kesadaran tauhid dan keterikatan dengan Allah.

IQRA’ dalam Konteks Teknologi dan Perkembangan Zaman

Di era digital dan kemajuan teknologi, konsep IQRA’ semakin relevan. Dengan kecerdasan buatan (AI), pemrosesan informasi menjadi lebih cepat dan komprehensif.

Namun, prinsip dasarnya tetap merujuk pada landasan aksiomatik yang sama: membaca harus berdasarkan petunjuk dan bimbingan yang benar. Tanpa landasan ini, teknologi bisa menjadi alat yang justru menjauhkan manusia dari hakikat kebenaran.

Dengan demikian, kesimpulan yang tepat adalah bahwa Rasulullah ﷺ tidak buta huruf dalam arti tidak bisa membaca, tetapi beliau menjawab perintah membaca itu dengan wahyu pula.

Semoga kaum muslimin dapat memahami Al-Qur’an dengan benar, menempatkan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana mestinya, dan menjadikan perintah IQRA’ sebagai pedoman utama dalam memahami ilmu dan kehidupan.(lalu agus sarjana)

 

Example 120x600