Scroll untuk baca artikel
ArtikelBerita

Lebaran Pertama di Solo 

17
×

Lebaran Pertama di Solo 

Share this article

Cerpen

Mendung menyelimuti langit kota sejak siang. Sore ketika aku harus ke kandang ayam untuk memberi makan, hujan mulai turun. Ada 17 anak ayam yg menetas pas Romadhon yang baru berlalu, dan aku berharap bisa bertahan hidup dan beranak pinak.

Kandang ayamku tidak besar. Setahun lalu ada 30 ayam babon dan 2 jago di awalnya. Ayam ayam itu kubeli di pasar kartosuro dan pengging Boyolali. Kini tinggal 11 babon dan 1 ayam jago. Yang lainnya ada ada yg disembelih Didik, anak Wonogiri yang dulu kost di rumah depan kandang. Beberapa mati dan dibakar untuk pakan lele di kolam sebelah utara kandang ayam.

Di tengah hujan sore pada hari pertama lebaran ini aku seperti bermimpi dalam sadar. Mimpi yang muncul dalam sepi ketika lebaran hanya di rumah berdua dengan istri. Empat anakku yg biasanya ada di rumah lebaran tahun ini baru beberapa hari lagi bisa pulang.

Dan ini bertepatan dengan lebaran pertamaku di kota yang aku sudah tinggali sejak 45 tahun yang lalu. Ya, selama hampir setengah abad tinggal di Solo, baru tahun ini kami hari pertama lebaran dan sholat Ied di sini. Tadi pagi kami memilih bergabung dengan keluarga besar Wong Solo sholat di Taman Pule Kalipepeland. Kawasan tepi sungai depan bandara Adisumarno Solo yang oleh Pak Haji Puspo ditata jadi destinasi wisata lengkap dengan panggung hiburan yang megah. Panggung yang di beberapa sisi dindingnya diberi pesan untuk ingat sholat di tengah pesta musik yang sering membuat orang lalai. Bahkan ketika pentas berlangsung dan tiba saatnya adzan, pesta hingar bingar dihentikan dan baru dilanjutkan setelah jeda untuk mereka yang menjalankan kewajibannya beribadah.

Sekian puluh tahun kami selalu mudik dan sholat Iedul Fitri di kampung halaman. Sebuah desa di sragen yang berbatasan dengan Jawa Timur. Desa Wahyu di utara bengawan Solo di mana saya lahir. Desa tempat ayah dan ibuku menikmati masa pensiunnya sebagai guru.

Sudah dua tahun lalu, ayah wafat bertepatan dengan hari ke 27 di bulan Romadhon. Dan sekitar 17 bulan kemudian Ibu juga menyusul ayah. Meski tinggal di desa, ayah dan ibu dimakamkan di kota Sragen. Itu sesuai wasiat ayah agar bisa dimakamkan bersama teman-temannya seiman. Makam itu berjarak sekitar satu kilometer dari RSUD Sragen, di mana keduanya pernah dirawat sebelum wafat.

Karena bapak ibu telah tiada, hari pertama lebaran tahun ini kami rayakan di Solo. Lagi pula, acara halal bi halal trah Mbah Loso dan Mbah Rono, nama kakek dari ibu dan ayah, baru diadakan pada hari ketiga lebaran. Dan hujan yang menyiram kota Solo sore itu membuat rasa sepi di hati bercampur dingin di badan yang terkena percikan air dari atap kandang ayam.

Kandang ayamku berlokasi di kampung selatan calon rumah pensiunan presiden Jokowi. Jaraknya cukup dekat, sekitar 750 meter yang bisa ditempuh dalam 5 menit dengan berjalan kaki.

Kandang berukuran 3 x 10 m itu ada di bagian belakang lahan kami yang menyatu menyatu dengan warmindo di bagian depan dan kamar kost di tengah. Pak Sarto yang menjaga kost dan merawat ayamku sudah 3 hari sebelum lebaran pamit mudik ke Giritantra Wonogiri.

Istrinya yang bekerja di Jakarta sudah beberapa minggu pulang duluan. Saya tidak tahu kenapa, sebelum pulang Pak Sarto pasang status WA sebuah satire yang intinya jangan mudah percaya tangisan wanita saat minta maaf pada suami pas hari raya. Sebab, dalam status wa itu ditulis, biasanya usai minta maaf dia akan kembali dengan kelakuannya semula.

Sore pada hari pertama lebaran itu saya tak sempat tanya Pak Sarto soal status WA nya. Perhatianku lebih tertuju pada bagaimana anak2 ayam di kandang tak kelaparan dan aman bila besok kutinggal mudik kampung halaman dalam beberapa hari.

Selama ini memang aku tak begitu perhatian pada usaha ternak ayam kampung ini sebab sudah diurus Pak Sarto. Paling saya hanya pesan katul di pabrik beras atau beli jagung di pasar desa pas pulang kampung.

Sewaktu bulan lalu dilapori Pak Sarto ada 4 anak ayam dari 2 induk yang mati sewaktu berumur 10 an hari saya mulai berpikir bagaimana supaya generasi emas ayam kampungku bisa lahir dan berkembang biak. Seorang kawan aktifis pemberdayaan masyarakat pernah memberitahu, konon dengan modal 10 ekor ayam betina dan 1 pejantan usaha ini bisa mengantarkan jadi milyarder.

Selama ini memang ternak ayam dibelakang rumah kost ini lebih sebagai hiburan. Dan melengkapi hiburan ini di rumah di mana saya bersama istri tinggal juga ada kandang ayam kecil. Ada sepasang ayam kate yang di dekat kamar belakang.

Sedang di halaman depan ada 3 jenis ayam, yakni pejantan kampung, pejantan Ringneck dan 3 pejantan ayam ketawa dan 1 betina. Ayam-ayam yang di rumah itu akan menjadi penghalang setan dan orang jahat yang mau masuk rumah. Dan yang pasti, semua ayam pejantan berkokok saat masuk waktu subuh, membangun saya dan istri untuk berjamaah ke masjid.

Sore itu saya menyapa anak-anak ayam dari beberapa indukan yang dijadikan satu dalam kandang bambu kecil di dalam kandang utama. Pak Sarto yang saya minta untuk menyatukan anak2 ayam itu dalam 1 kandang kecil biar lebih mudah terkontrol dari segi makanan dan keamanannya.

Konon tikus dan ular sering memakan anak ayam yang jalan sendiri lepas atau jauh dari induknya. Saya tak ingin hal itu terjadi pada 17 ekor anak ayam yang lahir pada bulan romadhon ini.

Saya amati warna bulu anak2 ayam itu, ada yang berintik kecoklatan, hitam, putih dan kuning keemasan. Di dalam kandang kecil itu ada 1 indukan yang menjaga anak2 ayam dari dalam, sedangkan di luar ada 2 ekor yang seakan-akan memanggil anaknya dan berputar mengelilingi kandang bambu kecil itu.

Firasatku seakan terjawab, 17 anak ayam itu berasal dari beberapa induk ayam betina yang bertelur dan dierami bersamaan. Semestinya kata Mas Guntoro teman saya yang beritahu modal 10 ekor ayam kampung jadi milyarder, telur ayam itu ditetaskan dengan mesin penetas.

Sehingga indukannya hanya perlu jeda seminggu lalu dia akan bertelur lagi. Begitu seterusnya dalam beberapa tahun dari 10 ekor ayam betina dan 1 pejantan kelak akan jadi ribuan ekor.

Anak-anak ayam itu terus saya pandangi, satu demi satu. Sementara tangan kanan saya memasukkan pur, makanan untuk anak ayam, yang saya beli dari pasar di sebelah barat pabrik tekstil Tyfontek yang sekarang tutup.

Pikiran saya melayang jauh, seakan melanjutkan mimpi dalam sadar, kelak anak-anak ayam yang saya beri makan pas hari pertama lebaran ini akan tumbuh sehat, bertelur dan beranak pinak sampai puluhan ribu ekor.

Dari 17 anak ayam itu ditambah indukan yang ada akan membuat saya jadi milyarder. Saya tak perlu pinjam dari bank lagi kalau mau merenovasi rumah kost di belakang warmindo. Ayam-ayam itu seakan terus memberikan setoran uang pada saya sebagai tuannya.

Dan dari setoran itu saya bisa membantu anak saya Chastity dan suaminya yang bekerja di RSUD Magelang untuk mengambil program dokter spesialis jantung dan penyakit dalam. Juga Aji yang mau mengambil program doktornya di Australia. Biaya pernikahan Annisa yang sebentar lagi pulang dari NTB setelah selesai internsip di sebuah RS di Dompu. Juga untuk hadiah cucuku Mika, anak Yusuf yang sekarang tinggal di Bekasi.

Kalau setoran dari ayam-ayam itu lancar saya bisa punya tabungan untuk bisa ikut kontestasi dalam pilkada atau pemilu legislatif tahun 2030 mendatang. Atau bisa jalan-jalan keliling dunia dengan istri dan anak cucu.

Terdengar adzan mahgrib dari mushola Al Hijrah di kompleks perumahan sebelah timur kandang ayamku. Bayangan setoran dari ayam-ayam yang saya pelihara pun terhenti. Kupandangi sekali lagi ke 17 anak ayam itu sebelum aku keluar kandang dan terpercik gerimis. Aku berjalan menuju depan, melewati lorong kamar kost yang sepi ditinggal mudik penghuninya. Kunyalakan beberapa titik lampu untuk menerangi rumah yang sepi dan gelap.

Naik Honda Beat dan memakai mantel saya menerobos hujan meninggalkan kandang ayam pulang ke rumah di Karangasem Solo. Kupacu motor matic kecil itu agar segera sampai rumah, mandi dan tak ketinggalan mahgrib di masjid. Mimpi dalam sadarku pun pergi diterpa air hujan dan jalan yang sepi.

Seusai mahgrib dan ngaji kubaca link berita di sosmed seperti biasanya. Saya jadi tahu hari ini juga mantan Presiden Jokowi juga berlebaran dan sholat Ied di Solo. Lebaran pertama setelah purna tugas sebagai presiden. Yang saya tidak tahu apakah lebaran hari pertama di Solo Pakdhe juga merasakan rasa sepi seperti yang ada dalam batinku. Tak terbayangkan olehku, apakah mantan walikota Solo itu juga mengalami mimpi dalam sadar dalam versi lain seperti mimpiku tentang ternak anak ayam yang bisa mengantarkan rakyat biasa jadi milyarder.(Eko SW Satriyo)

Eko  SW Striyo, Presidium Nasional  Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), Investor Wong Solo group, pernah menjadi guru dan wartawan

Example 120x600