Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Koperasi Desa Merah Putih: Ketika Ambisi Tak Sejalan dengan Kapasitas

12
×

Koperasi Desa Merah Putih: Ketika Ambisi Tak Sejalan dengan Kapasitas

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta– Gagasan membentuk Koperasi Desa Merah Putih di seluruh pelosok Indonesia muncul dengan semangat yang menggebu. Pemerintah pusat menampilkan program ini sebagai bentuk inovasi dan keberpihakan kepada ekonomi desa.

Dalam narasi besar yang dibangun, koperasi menjadi alat untuk mewujudkan pemerataan, mengurangi ketimpangan, dan menciptakan kemandirian ekonomi dari bawah. Namun sebagaimana banyak program ambisius lainnya, inisiatif ini tampak melesat jauh melebihi kesiapan lapangan, baik dari sisi kapasitas kelembagaan desa, sumber daya manusia, maupun skema pembiayaan dan pengawasan.

Desa-desa di Indonesia memiliki karakteristik yang sangat beragam, mulai dari aksesibilitas, tingkat pendidikan, hingga pengalaman dalam mengelola institusi ekonomi. Dalam banyak kasus, kelembagaan ekonomi desa seperti BUMDes saja masih berkutat dengan persoalan dasar—dari legalitas hingga manajemen usaha yang stagnan.

Menambahkan satu entitas baru seperti koperasi di setiap desa tanpa kesiapan yang matang bukan hanya rawan gagal, tetapi juga dapat membebani struktur desa yang sudah penuh tantangan administratif.

Koperasi sebagai entitas ekonomi memerlukan ekosistem yang mendukung: budaya kolektivitas, transparansi dalam pengelolaan, sumber daya manusia yang mumpuni, serta pasar yang bisa menyerap produk dan jasa. Namun dalam realitasnya, tidak semua desa memiliki syarat dasar tersebut.

Ketika pendirian koperasi dilakukan hanya untuk mengejar target kuantitatif—sekian ribu koperasi baru dalam waktu singkat—maka besar kemungkinan yang terjadi hanyalah penciptaan koperasi semu: ada nama, ada struktur, tapi tak menjalankan fungsi ekonominya dengan sehat.

Ambisi negara dalam proyek ini juga menimbulkan pertanyaan soal pembiayaan dan keberlanjutan. Di tengah tekanan fiskal dan beban anggaran yang terus membengkak, dari mana dana untuk mendirikan, melatih, dan mendampingi ribuan koperasi ini akan berasal?

Apakah akan diambil dari APBN, didorong melalui dana desa, atau justru dibebankan kepada masyarakat melalui skema pinjaman? Tanpa perencanaan anggaran yang matang dan terukur, ambisi besar ini hanya akan menjadi beban baru di kemudian hari.

Lebih jauh lagi, keberhasilan koperasi tak cukup hanya dengan intervensi kelembagaan. Ia memerlukan kepercayaan sosial (social trust) dan partisipasi aktif dari warga. Dalam masyarakat desa yang pernah mengalami trauma dengan koperasi abal-abal atau praktik ekonomi eksploitatif, membangun kembali kepercayaan bukan perkara instan.

Jika koperasi dibentuk secara top-down tanpa dialog dan pendidikan ekonomi yang memadai, maka bukan tak mungkin warga hanya akan melihatnya sebagai proyek pemerintah belaka—asing dan jauh dari kebutuhan nyata mereka.

Proyek Koperasi Desa Merah Putih menunjukkan bahwa niat baik saja tidak cukup. Ambisi yang besar harus dibarengi dengan pemahaman yang mendalam terhadap realitas sosial, kelembagaan, dan kapasitas desa.

Jika tidak, maka koperasi hanya akan menjadi simbol populisme ekonomi tanpa substansi, dan desa kembali menjadi objek eksperimen kebijakan yang gagal menumbuhkan kemandirian sejati.(emha)

 

Example 120x600