Scroll untuk baca artikel
Nasional

Mengingat Kartini Mengenang Kartono

7
×

Mengingat Kartini Mengenang Kartono

Share this article
Kartono dan Kartini

ppmindonesia.com.Jakarta – Setiap Hari Kartini, kita selalu disibukkan dengan mengenang sosok R.A. Kartini dan keharuman namanya. Namun jarang sekali kita menoleh ke belakang dan bertanya: siapa yang berada di balik kebesaran pemikiran dan semangat emansipasi Kartini? Pernahkah kita bertanya, bagaimana mungkin seorang gadis yang dipingit di rumah mampu mengakses berbagai literatur Eropa yang pada masanya tergolong langka dan sulit diperoleh?

Majalah seperti Maatschappelijk Werk in Indie, De Gids, De Hollandsche Lelie, De Locomotief, hingga karya monumental Max Havelaar karya Multatuli, tulisan-tulisan Van Eeden, Augusta de Witt, roman feminis Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, serta Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner—semua itu bukan bacaan biasa. Buku-buku itu datang dari satu sosok penting yang selama ini luput dari perhatian sejarah: kakaknya sendiri.

Namanya Raden Mas Panji Sosrokartono—lebih dikenal sebagai Kartono. Sosok inilah yang sangat berperan dalam membentuk dan menyuburkan alam pikir Kartini. Sayangnya, namanya hampir tak pernah disebut dalam peringatan Hari Kartini. Bahkan dalam buku pelajaran sejarah pun, nyaris tak ada yang mengenalkan perannya kepada anak-anak bangsa.

Kartono lahir pada Rabu Pahing, 10 April 1877, dua tahun lebih awal dari Kartini. Ia adalah putra R.M. Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Sejak kecil, Kartono telah menunjukkan kecerdasan luar biasa yang kemudian menjadi inspirasi bagi adiknya.

Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) di Jepara, lalu melanjutkan ke HBS di Semarang. Pada tahun 1898, Kartono melanjutkan studinya ke Belanda dan menjadi pribumi pertama yang meraih gelar Doctorandus in de Oostersche Talen (Sastra Timur) dari Universitas Leiden. Ia menguasai tidak kurang dari 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah Nusantara, hingga dijuluki di Eropa sebagai “Si Jenius dari Timur.”

Keahliannya dalam bahasa membuatnya dipercaya menjadi kepala penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa (cikal bakal PBB) sejak tahun 1919 hingga 1921. Ia berhasil mengalahkan para poliglot dari Eropa dan Amerika untuk posisi tersebut. Selain itu, ia juga aktif sebagai wartawan di berbagai media ternama Eropa. Melalui Kartono-lah Kartini menerima buku dan bacaan berkualitas yang memberinya pencerahan untuk mendobrak sekat-sekat patriarki dan memperjuangkan emansipasi perempuan.

Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut Kartono sebagai sosok yang paling memahami dan mendukung gagasan-gagasannya, serta banyak membantunya menghadapi kesulitan. Kartono adalah jembatan pengetahuan yang memperluas cakrawala berpikir Kartini, sekaligus menjadi teladan dalam melihat perempuan sebagai pribadi yang setara dalam akal dan potensi.

Pada tahun 1925, Kartono pulang ke tanah air dan mendirikan sekolah serta perpustakaan—cita-cita yang tak sempat diwujudkan oleh Kartini semasa hidupnya. Ia juga turut merintis Taman Siswa bersama Ki Hajar Dewantara di Bandung. Di samping perannya dalam pendidikan, ia juga aktif dalam pergerakan nasional yang membuatnya dianggap sebagai tokoh berbahaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Hingga akhir hayatnya pada tahun 1952, Kartono terus mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan masyarakat. Ia tidak menikah dan tidak memiliki keturunan, tetapi warisan pikirannya tetap hidup melalui karya dan pengaruhnya. Salah satu petuahnya yang sangat dikenal adalah:

“Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.”Artinya: kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerang tanpa pasukan, dan menang tanpa merendahkan.

Di Hari Kartini, sudah selayaknya kita tidak hanya merayakan semangat Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi juga mengenang sosok Kartono yang telah menjadi penyokong utama dalam pertumbuhan intelektual sang adik. Tanpa Kartono yang berpikiran terbuka dan mendorong Kartini untuk berkembang, mungkin tidak akan lahir gagasan-gagasan hebat yang menginspirasi gerakan emansipasi perempuan di tanah air.

Kartono tidak melihat perempuan sebagai objek, melainkan sebagai sahabat berpikir. Ia membuka ruang bagi Kartini untuk menyuarakan suara hati dan pikirannya. Maka, saat kita ingin mencetak Kartini-Kartini baru, jangan lupakan untuk juga meneladani dan mencetak Kartono-Kartono baru: laki-laki yang menghargai kecerdasan perempuan, yang tidak takut melihat perempuan berpikir bebas dan setara.(Ismail Amin Pasannai)

Example 120x600