ppmindonesia.com.Jakarta – Pertanyaan tentang apakah “Muslim” dan “Mu’min” adalah istilah yang sama mungkin tampak tidak relevan bagi sebagian besar pengikut Al-Qur’an. Namun, pemahaman yang tepat mengenai kedua istilah ini, sebagaimana dijelaskan dalam Kitabullah, sangat penting untuk mengetahui apa yang sebenarnya Allah kehendaki dari kita.Dalam pemahaman umum, terutama dalam konteks “tradisi,” kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian.
Seorang yang dianggap sebagai “Muslim” berdasarkan penerimaan Rukun Islam (Syahadat, Shalat, Puasa Ramadan, Zakat, Haji) juga sering dianggap sebagai “Mu’min” karena secara implisit menerima Rukun Iman (percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan Qadar).
Definisi Tradisional:
- Muslim: Seseorang yang menerima dan menjalankan lima rukun Islam.
- Mu’min: Seseorang yang beriman kepada enam rukun Iman.
Menurut logika tradisional, menerima Muhammad sebagai utusan Allah (bagian implisit dari Syahadat) juga berarti menerima Al-Qur’an dan ajaran tentang Allah, malaikat, nabi, dan Hari Akhir, sehingga seorang Muslim juga dianggap sebagai Mu’min.
Perspektif Al-Qur’an: Perbedaan Signifikan
Al-Qur’an memberikan perspektif yang berbeda dan menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara “Muslim” (orang yang berserah diri) dan “Mu’min” (orang yang beriman):
قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّاۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْۗ وَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔاۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٤
“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah berserah diri (aslamna),’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat 49:14)
Ayat ini secara eksplisit membedakan antara orang yang mengaku beriman (“A’manna”) dan mereka yang baru berserah diri (“Aslamna”). Allah memerintahkan mereka untuk mengakui bahwa iman yang sesungguhnya belum berakar di hati mereka, meskipun mereka telah “berserah diri.”
Siapakah Muslim (Pengirim)?
Al-Qur’an memberikan ciri-ciri seorang Muslim:
وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ٣٣
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS. Fussilat 41:33)
“…Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan pada keturunanku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu, dan sungguh, aku termasuk orang muslim (yang berserah diri).” (QS. Al-Ahqaf 46:15)
قُلْ اِنَّمَا يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ١٠٨
“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya apa yang diwahyukan kepadaku adalah bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. Maka apakah kamu akan berserah diri (muslimun)?” (QS. Al-Anbiya’ 21:108)
Dari ayat-ayat ini, seorang Muslim atau “Submitter” adalah seseorang yang:
- Mengakui keesaan Allah (Monoteisme).
- Berbuat kebajikan (amal saleh).
- Menyatakan dirinya sebagai orang yang berserah diri kepada Allah.
Pengetahuan tentang keesaan Allah adalah fitrah (naluri bawaan) manusia sejak awal penciptaan (QS. Al-A’raf 7:172-173, QS. Ar-Rum 30:30). Untuk menjadi seorang Muslim, seseorang hanya perlu mempertahankan fitrah ini dan tidak terperdaya oleh penyekutuan Allah.
Perbuatan Baik Menurut Fitrah:
Al-Qur’an juga menyebutkan prinsip-prinsip moral dasar yang secara inheren diketahui oleh manusia sebagai perbuatan baik dan buruk (QS. Al-An’am 6:151-152).
Prinsip-prinsip ini, seperti menghormati orang tua, tidak membunuh tanpa alasan yang benar, berlaku adil, dan menepati janji, menjadi panduan bagi seorang Muslim dalam berbuat baik.
Kesimpulan tentang Muslim:
Menurut Al-Qur’an, seorang Muslim (Submitter) adalah seseorang yang menerima keesaan Allah dan berbuat baik. Mereka tidak secara otomatis diwajibkan untuk menjalankan ibadah-ibadah ritual seperti shalat, zakat, puasa, atau haji, atau menerima kitab suci dan rasul tertentu sebagai syarat awal “berserah diri.” Jalan Ibrahim (Abraham), yang digambarkan sebagai contoh besar bagi umat manusia, adalah “berserah diri kepada Allah sambil berbuat baik dan mengikuti akidah Ibrahim yang lurus” (QS. An-Nisa’ 4:125).
Siapakah Mu’min (Beriman)?
Al-Qur’an menjelaskan ciri-ciri orang yang beriman (Mu’min):
- Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya: (QS. Al-Hujurat 49:15) Ini melampaui sekadar mengakui keesaan Allah, melibatkan kepercayaan mendalam dan penerimaan utusan Allah serta risalahnya.
- Tidak Ragu-ragu: (QS. Al-Hujurat 49:15) Mereka memiliki keyakinan yang teguh terhadap apa yang telah diwahyukan.
- Berjihad dengan Harta dan Jiwa: (QS. Al-Hujurat 49:15) Mereka mengorbankan harta dan jiwa mereka di jalan Allah.
- Hati Bergetar saat Nama Allah Disebut: (QS. Al-Anfal 8:2) Mereka memiliki rasa takut dan hormat yang mendalam kepada Allah.
- Iman Bertambah dengan Ayat Allah: (QS. Al-Anfal 8:2) Mendengar ayat-ayat Allah memperkuat keyakinan mereka.
- Bertawakal kepada Allah: (QS. Al-Anfal 8:2) Mereka sepenuhnya bergantung kepada Allah.
- Mendirikan Shalat: (QS. Al-Anfal 8:3) Mereka secara teratur melaksanakan ibadah shalat.
- Menafkahkan Sebagian Rezeki: (QS. Al-Anfal 8:3) Mereka memberikan sebagian harta mereka untuk amal (zakat).
Hasil bagi Mu’min:
اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌۚ ٤
“Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki yang mulia.” (QS. Al-Anfal 8:4)
Orang-orang yang beriman adalah mereka yang telah melangkah lebih jauh dari sekadar “berserah diri.” Mereka menerima rasul Allah dan kitab suci, sehingga terikat dengan aturan dan perintah yang lebih spesifik, yang membawa mereka ke tingkat “kebenaran” (Shiddiqun) dan “ketakwaan” (Muttaqin).
Mu’min = Muttaqin (Orang yang Bertakwa):
Al-Qur’an sering mengaitkan “Mu’min” dengan “Muttaqin” (orang yang bertakwa), yang memiliki ciri-ciri yang lebih rinci, termasuk beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan rezeki, beriman kepada kitab-kitab sebelumnya, dan yakin akan akhirat (QS. Al-Baqarah 2:2-5, QS. Al-Baqarah 2:177).
Kesimpulan:
Para pengikut kitab suci yang diwahyukan melalui para rasul tidak lagi hanya “Muslimin” dalam pengertian dasar, tetapi telah meningkat menjadi “Mu’minin” (orang-orang yang beriman). Kesalahan yang sering terjadi adalah mempromosikan tindakan-tindakan yang diperuntukkan bagi “Mu’minin” seolah-olah itu adalah kewajiban bagi setiap “Muslim” sejak awal.
Seseorang perlu terlebih dahulu menerima keesaan Allah dan berbuat baik sebelum dapat sepenuhnya menghargai dan memahami nilai ibadah-ibadah seperti shalat dan zakat, yang merupakan bagian dari perjalanan spiritual seorang Mu’min setelah ia beriman kepada rasul dan menerima petunjuk kitab suci. Hanya ketika seseorang mencapai “keyakinan” (yaqin) dalam keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, ia dapat sepenuhnya mengamalkan aturan-aturan “kebenaran” dan “ketakwaan” dalam hidupnya.(Laits Al-Shaiban)