Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Agama yang Terpecah: Tafsir Perpecahan dari Perspektif Al-Qur’an

5
×

Agama yang Terpecah: Tafsir Perpecahan dari Perspektif Al-Qur’an

Share this article

ppmindonesia.com,JakartaPerpecahan dalam tubuh umat beragama bukanlah fenomena baru. Hampir seluruh agama besar dunia mengalami fragmentasi, termasuk Islam. Namun, yang membedakan Islam dari agama lain adalah bahwa kitab sucinya secara eksplisit memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam perpecahan.

Ironisnya, justru umat Islam yang dikenal sebagai “umat yang satu” telah lama terpecah ke dalam berbagai mazhab, sekte, dan golongan, bahkan hingga saling menyesatkan satu sama lain.

Al-Qur’an secara tegas menyatakan:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ۝١٥٩

“Sesungguhnya orang-orang yang telah memecah-belah agama mereka dan menjadi golongan-golongan, engkau (Muhammad) bukanlah bagian dari mereka sedikit pun. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah kepada Allah, kemudian Dia akan memberitahu mereka tentang apa yang telah mereka perbuat.”
(QS. Al-An’am: 159)

Ayat ini tidak hanya memperlihatkan kecaman terhadap perpecahan agama, tetapi juga menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW berlepas diri dari mereka yang memecah agama menjadi golongan-golongan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an tidak hanya menyampaikan larangan, tetapi juga memperlihatkan bahwa perpecahan adalah bentuk penyimpangan dari ajaran wahyu yang murni.

Akar Perpecahan: Penyimpangan dari Tauhid

Dalam perspektif Al-Qur’an, penyebab utama dari perpecahan agama adalah berpaling dari wahyu Allah dan menggantinya dengan ajaran-ajaran hasil interpretasi manusia. Hal ini mencakup hadis-hadis yang tidak mutawatir, fatwa-fatwa ulama yang dipengaruhi konteks sosial-politik zamannya, hingga konsensus-konsensus yang mengikat tanpa landasan kuat dari Al-Qur’an.

…وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ ۝٣١مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًاۗ كُلُّ حِزْبٍ ۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ ۝٣٢

“…………….Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan, setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.”
(QS. Ar-Ruum: 31–32)

Perpecahan dalam agama, menurut ayat ini, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendapat, tetapi oleh kesombongan kolektif yang lahir dari rasa kepemilikan atas kebenaran. Setiap mazhab atau kelompok merasa memiliki kebenaran eksklusif, dan merasa paling sah untuk berbicara atas nama Islam. Di sinilah perpecahan menjadi bentuk kemusyrikan baru: menyandingkan otoritas Allah dengan otoritas kelompok.

Dinamika Mazhab dan Golongan

Sejarah Islam mencatat kemunculan berbagai mazhab dan golongan sebagai bagian dari dinamika intelektual umat. Awalnya, keragaman pendapat bisa menjadi kekayaan. Namun, ketika perbedaan ditarik menjadi garis identitas yang kaku dan eksklusif, keragaman itu berubah menjadi jurang perpecahan. Sunni, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, dan seterusnya—masing-masing berkembang menjadi entitas tersendiri, lengkap dengan sistem teologi, fiqh, dan bahkan struktur sosial-politiknya.

Dalam banyak kasus, perbedaan ini tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan sumber konflik horizontal di tengah umat. Padahal, Al-Qur’an menyeru kepada satu kesatuan, yaitu kesatuan di bawah tauhid dan bimbingan wahyu, bukan kesatuan yang dipaksakan oleh doktrin mazhab.

Solusi Qur’ani: Kembali kepada Wahyu

Satu-satunya jalan keluar dari lingkaran perpecahan ini adalah dengan kembali kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an menyerukan kepada kesatuan umat (ummatan wahidah) yang didasarkan pada iman kepada Allah dan amal saleh, bukan pada identitas mazhab atau kelompok.

اِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةًۖ وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْنِ ۝٩٢

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
(QS. Al-Anbiya’: 92)

Kesatuan yang diperintahkan oleh Al-Qur’an bukanlah keseragaman pendapat, tetapi kesatuan visi dan tujuan: menyembah Allah semata, menegakkan keadilan, dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Untuk itu, pemurnian ajaran dan pembersihan dari fanatisme golongan adalah langkah penting.

Penutup: Menafsir Perpecahan sebagai Peringatan Ilahi

Al-Qur’an bukan sekadar memberi peringatan tentang bahaya perpecahan, tetapi juga menampilkan perpecahan sebagai cermin dari penyimpangan umat dari jalan Allah. Dengan memahami perpecahan sebagai bentuk kemunduran spiritual dan pergeseran dari tauhid yang murni, umat Islam diingatkan untuk kembali mengoreksi arah perjalanan keagamaannya.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, umat Islam dihadapkan pada pilihan penting: terus hidup dalam keterpecahan yang diwariskan, atau kembali merangkul wahyu sebagai dasar utama persatuan. Tafsir Al-Qur’an atas perpecahan agama membuka jalan bagi refleksi kolektif dan pembaruan spiritual menuju agama yang utuh, murni, dan membebaskan. (emha)

Example 120x600