ppmindonesia.com. Magelang – Di bawah teduh pepohonan dan sejuk angin bulan April, Pondok Pesantren Pabelan di Magelang menjadi panggung perjumpaan lintas budaya dan agama. Selama dua hari, Kamis dan Jumat, 24–25 April 2025, para pemuka agama dari berbagai belahan dunia—Portugal, Korea Selatan, Kenya, Uganda, Vietnam, Filipina, hingga Indonesia—datang untuk belajar, berdialog, dan berbagi dalam suasana spiritualitas yang penuh persaudaraan.
Mereka adalah peserta Kursus Spiritualitas, dipimpin oleh Romo Dr. JB Heru Prakosa, SJ, dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dengan semangat terbuka, mereka menyusuri lorong-lorong pesantren, menyaksikan denyut kehidupan santri yang sederhana namun kaya makna, dan merasakan langsung kehangatan masyarakat sekitar.
Diskusi yang berlangsung tak sekadar formalitas. Para pastur mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam, kritis, bahkan menantang. Salah satunya saat saya membagikan Majalah PESANTREN edisi “Eko-Pesantren”. Seperti menyalakan percikan api, tema ini segera memancing antusiasme.
Frater Pak Yong Cul dari Korea bertanya dengan penuh rasa ingin tahu: “Sejak kapan kesadaran tentang lingkungan hidup ini tumbuh di Indonesia? Bagaimana diterapkan dalam pendidikan di pesantren dan masyarakat?”
Sementara itu, Frater Andreas Gonzalves Lind dari Portugal, dengan mata yang mencermati sekeliling, mengungkapkan kekagumannya pada dominasi warna hijau di lingkungan yang kami kunjungi. Ia bertanya, “Apakah ini hanya budaya, atau ada hubungan erat dengan nilai-nilai Islam tentang pelestarian lingkungan?”
Frater Arthur Nebrao Jr. dari Filipina dan Frater Patrick Ng Ang A dari Vietnam menambahkan perbandingan pengalaman dari negara mereka, membuka diskusi tentang green education, green campus, green masjid, dan bahkan green religion.
Saya pun berbagi kisah panjang tentang Pesantren Pabelan—sebuah perjalanan yang penuh konsistensi menjaga bumi. Pesantren ini pernah menerima penghargaan dari Presiden RI dua kali: tahun 1982 dari Presiden Soeharto dan tahun 2007 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, atas dedikasi lebih dari 25 tahun dalam pelestarian lingkungan hidup.
Bahkan di tahun yang sama, Pesantren Pabelan juga diganjar Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari Kementerian Kesehatan, karena keberhasilannya dalam mengintegrasikan program kesehatan masyarakat berbasis pesantren.
Lebih jauh, pada tahun 1980, pesantren ini mendapat penghargaan The International Award for Architecture yang diserahkan langsung oleh HH Aga Khan bersama Presiden Zia-ul-Haq di Shalimar Garden, Lahore. Sebuah pengakuan dunia atas arsitektur pesantren yang selaras dengan nilai lingkungan dan budaya.
Percakapan yang semula serius pun larut dalam suasana akrab, saat kami menikmati aneka jajanan lokal: ledre yang renyah, klepon yang manis berisi gula merah cair, ongol-ongol yang kenyal, dan jadah bakar yang gurih. Seakan makanan pun menjadi bagian dari jembatan pengikat di antara perbedaan latar belakang kami.
Pada akhirnya, dialog ini ditutup dengan tukar cendera mata—sebuah simbol persaudaraan yang dibawakan dengan hangat oleh Frater Paul Kalenzi dari Uganda. Romo Dr. JB Heru Prakosa, SJ, menutup dengan kata-kata yang sederhana namun dalam: tentang pentingnya membangun dunia yang lebih baik lewat jalinan dialog, saling menghormati, dan cinta terhadap alam semesta.
Kami pun mengabadikan kebersamaan ini lewat foto bersama di depan masjid Pesantren Pabelan—sebuah masjid yang bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga saksi hidup akan semangat penghormatan terhadap kehidupan, sesama manusia, dan bumi tempat kita berpijak. (mhabib chirrzin)
M Habib Chirzin; Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional 1994 – 1998, sebagai mentor dan guru bagi para aktifis PPM