Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Dari Pagi Hingga Malam, Tetap Miskin: Kegagalan Sistemik di Balik Angka Pertumbuhan

226
×

Dari Pagi Hingga Malam, Tetap Miskin: Kegagalan Sistemik di Balik Angka Pertumbuhan

Share this article

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah deretan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang kerap dibanggakan, Indonesia menyimpan paradoks yang menyakitkan: jutaan warganya tetap terperangkap dalam kemiskinan, meski bekerja keras tanpa henti dari pagi hingga malam.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan persoalan individual, tetapi memperlihatkan kegagalan sistemik yang menempatkan kerja tanpa jaminan layak sebagai norma dalam perekonomian nasional.

Laporan Macro Poverty Outlook Bank Dunia edisi April 2025 menunjukkan bahwa sekitar 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah atas.

Ini berarti sekitar 169,8 juta orang bertahan hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp115 ribu per hari. Angka ini sangat kontras dengan klaim pemerintah, yang melalui Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat kemiskinan nasional hanya 8,57%, berdasarkan garis kemiskinan yang jauh lebih rendah—sekitar Rp19 ribu per hari.

Kesenjangan antara ukuran kemiskinan versi global dan nasional menyoroti cara negara memaknai sejahtera. Lebih dari itu, data menunjukkan bahwa kemiskinan bukan semata akibat pengangguran.

Sebanyak 40% dari orang miskin di Indonesia ternyata adalah pekerja aktif. Mereka bekerja, sebagian besar di sektor informal seperti pertanian, namun tetap hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan tanpa akses terhadap jaminan sosial, upah layak, maupun peluang mobilitas sosial.

Selama satu dekade terakhir, stagnasi angka pekerja miskin menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berhasil menciptakan transformasi struktural yang berarti. Dunia usaha, khususnya sektor manufaktur, terus melemah, menurunkan kapasitas serapan tenaga kerja dan memperburuk produktivitas.

Sementara itu, upah tumbuh lambat, dan sektor informal menjadi pelarian banyak orang yang kehilangan pijakan di sektor formal.

Ironisnya, pemerintah terus menarasikan pencapaian ekonomi berdasarkan indikator makro—seperti pertumbuhan PDB, inflasi, dan cadangan devisa—tanpa memperhitungkan distribusi manfaatnya. Gini ratio yang naik menjadi 0,381 pada akhir 2024 menjadi sinyal bahwa ketimpangan semakin melebar, meski angka kemiskinan resmi disebut menurun.

Kondisi ini membutuhkan pendekatan baru dalam pembangunan—bukan sekadar perbaikan statistik, melainkan pembenahan sistemik yang menjadikan pekerja sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek atau angka.

Memformalkan pekerjaan informal, meningkatkan produktivitas sektor perdesaan, dan membangun sistem perlindungan sosial universal yang inklusif adalah sebagian dari langkah yang dibutuhkan.

Pekerjaan seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan, bukan sekadar cara bertahan hidup. Jika sistem tidak berubah, maka setiap pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi kisah sukses segelintir orang, sementara mayoritas tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak kunjung terputus.(emha)

Example 120x600