ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah derasnya arus Sungai Barito, sejarah tidak hanya tercatat dalam naskah kuno, tetapi juga mengalir dalam ingatan kolektif masyarakat Banua—nama yang dengan hangat digunakan oleh orang Banjar untuk menyebut tanah kelahirannya.
Di sinilah, sekitar lima abad yang lalu, Islam tidak hanya datang sebagai agama baru, tetapi sebagai kekuatan yang mengubah wajah kekuasaan dan peradaban.
Adalah Raden Samudera, seorang pangeran dari Kerajaan Hindu Negara Daha, yang menjadi poros perubahan itu.
Terdesak oleh intrik istana dan perebutan kekuasaan dengan pamannya sendiri, Pangeran Tumenggung, Raden Samudera melarikan diri ke wilayah pesisir.
Ia menemukan perlindungan dan dukungan dari masyarakat di muara sungai, tepatnya di kawasan yang kini dikenal sebagai Banjarmasin.
Namun, lebih dari sekadar pelarian politik, keputusan penting dibuat oleh Raden Samudera ketika ia mengirim utusan ke Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama dan paling berpengaruh di Jawa saat itu.
Bantuan militer Demak datang, namun dengan syarat: Raden Samudera harus memeluk Islam. Ia menerima syarat itu bukan hanya karena kebutuhan strategis, tetapi karena keyakinan akan masa depan yang lebih besar bagi tanah Banua.
Tahun 1526 menandai babak baru. Setelah berhasil merebut kembali tampuk kekuasaan, Raden Samudera dinobatkan sebagai Sultan Suriansyah, raja Muslim pertama di Kalimantan Selatan.
Maka lahirlah Kesultanan Banjar, kerajaan Islam yang tak hanya mewarisi kekuasaan politik, tapi juga menanamkan akar-akar spiritual Islam dalam kehidupan masyarakat.
Kekuasaan Kesultanan Banjar bukan hanya mengatur urusan duniawi, tapi juga membimbing kehidupan batin rakyatnya. Islam menyatu dalam adat, tata pemerintahan, pendidikan, dan hukum.
Para ulama dari Jawa, Sumatra, dan bahkan dari negeri-negeri jauh seperti Gujarat dan Arab datang, menyemai ajaran tauhid dan akhlak mulia di tengah masyarakat yang terbuka.
Kesultanan Banjar juga menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan dan dakwah Islam di Nusantara.
Dengan posisi strategis di jalur sungai dan laut, Banua menjadi titik temu saudagar, ulama, dan ide-ide besar.
Di sinilah kekuasaan dan agama bukan bertentangan, tetapi saling menopang dalam membentuk tatanan sosial yang adil dan beradab.
Warisan Kesultanan Banjar masih dapat dirasakan hingga kini. Masjid Sultan Suriansyah, yang dibangun di masa pemerintahannya, masih berdiri megah sebagai saksi bisu awal Islamisasi di tanah Banjar.
Gelar “Sultan” tak hanya berhenti sebagai gelar raja, tetapi menjadi simbol sejarah Islam yang melekat dalam identitas orang Banjar.
Di tengah tantangan modernisasi dan globalisasi, masyarakat Banua terus menggali kembali nilai-nilai yang diwariskan para leluhurnya.
Islam, dalam bingkai kebudayaan Banjar, tetap hidup sebagai panduan etis, sebagai inspirasi dalam perjuangan sosial, dan sebagai jembatan antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh harapan.
Sejarah Kesultanan Banjar bukan sekadar cerita kejayaan lampau, tapi juga narasi tentang bagaimana Islam meresap dengan damai ke dalam jiwa rakyat, mengatur kekuasaan dengan hikmah, dan meninggalkan warisan yang melampaui generasi.
Dari tepian Barito hingga puncak Gunung Meratus, gema sejarah itu masih bergema dalam setiap sapaan “Assalamualaikum” yang diucapkan penuh hangat oleh masyarakat Banua.(acank)