ppmindonesia.com.Jakarta – Di balik langkah kecil dan senyap di tanah, semut menyimpan rahasia besar tentang ciptaan Tuhan yang teratur, disiplin, dan penuh hikmah. Meski tubuhnya kecil dan sering luput dari perhatian manusia, kerajaan semut sesungguhnya adalah cermin dari umat yang tunduk dan taat pada sistem ilahi, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْۗ مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ٣٨
“Dan tidak ada suatu binatang pun di bumi dan tidak (pula) burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka adalah umat (juga) seperti kamu.” (Q.S. Al-An’am: 38)
Ayat ini mengangkat semut—dan makhluk hidup lainnya—ke dalam pengertian “umat” sebagaimana manusia. Mereka bukan sekadar hewan, tetapi bagian dari komunitas ciptaan Tuhan yang hidup dalam keteraturan, komunikasi, dan tanggung jawab kolektif.
Sistem Sosial yang Mencerminkan Tauhid
Koloni semut memiliki struktur sosial yang luar biasa kompleks dan efisien. Setiap semut lahir dengan peran yang pasti: pekerja, prajurit, perawat, atau ratu. Tak ada pemberontakan, tak ada perebutan kekuasaan. Semua bekerja dalam satu tujuan: menjaga kelangsungan hidup koloni.
Ratu semut, setelah kawin, memulai koloni dengan mengorbankan sayapnya dan bahkan menyerap otot tubuhnya sendiri sebagai nutrisi awal. Tanpa bantuan siapa pun, ia bertelur, merawat larva, dan membesarkan pekerja generasi pertama. Setelah itu, peran selanjutnya dilanjutkan oleh para pekerja, sedangkan sang ratu fokus pada reproduksi.
Ini bukan sekadar insting. Ini adalah bentuk ketaatan struktural yang mencerminkan tauhid dalam tindakan—semut tidak pernah keluar dari fitrahnya, tidak membuat kerusakan, dan tak pernah berbuat sia-sia. Mereka menunjukkan bentuk penghambaan dalam perbuatan.
Semut dalam Wahyu: Makhluk yang Diperhatikan Allah
Dalam Surah An-Naml (27), Allah bahkan mengabadikan kata-kata seekor semut:
حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ ١٨
“Wahai semut-semut, masuklah ke tempat tinggalmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (Q.S. An-Naml: 18)
Semut ini berbicara kepada kaumnya, memperingatkan mereka akan bahaya, dan menunjukkan empati bahkan terhadap musuh. Kisah ini luar biasa bukan karena keajaiban semata, tapi karena Al-Qur’an memberi panggung kepada makhluk kecil untuk menjadi pengingat bagi manusia.
Nabi Sulaiman tersenyum bukan karena meremehkan, melainkan karena ia memahami bahwa hikmah bisa datang dari siapa pun, bahkan dari seekor semut. Ini menegaskan bahwa dalam pandangan wahyu, nilai suatu makhluk tidak terletak pada ukurannya, tetapi pada perannya dalam sistem Tuhan.
Umat yang Terlupakan
Meski Al-Qur’an telah menyebutkan semut sebagai umat, manusia kerap melupakannya. Kita menginjaknya tanpa peduli, menghancurkan sarangnya, atau bahkan membasminya tanpa renungan. Padahal, mereka adalah bagian dari ekosistem dan tatanan Ilahi yang menjaga keseimbangan alam.
Mereka juga mengajarkan kita banyak hal: kerja keras tanpa pamrih, solidaritas, pengorbanan, dan tanggung jawab sosial. Sementara manusia sering terjebak dalam konflik dan egoisme, semut terus bekerja dalam diam, menciptakan peradaban bawah tanah yang berkelanjutan dan harmonis.
Ironisnya, umat manusia sering melupakan umat-umat lain yang disebutkan Tuhan. Kita mengaku sebagai khalifah di bumi, namun tidak belajar dari mereka yang justru lebih patuh kepada hukum alam yang ditetapkan Tuhan.
Tafakur atas Semut: Jalan Menuju Kesadaran
Merenungi kehidupan semut adalah bagian dari tafaqquh (pendalaman) dan tafakur (perenungan) yang diperintahkan Al-Qur’an. Jika semut saja disebut “umat”, bagaimana mungkin kita mengabaikan keberadaannya?
Maka, sudah waktunya manusia berhenti merasa superior semata-mata karena akal, lalu mulai belajar dari makhluk kecil yang istiqamah dalam perannya sebagai hamba Allah.
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ ١٣
“Dia menciptakan bumi untuk semua makhluk…”(Q.S. Ar-Rahman: 10)
“Kerajaan semut” bukan sekadar koloni serangga. Ia adalah gambaran masyarakat tauhid, tempat setiap individu mengemban amanah, bekerja sama dalam kesadaran akan tanggung jawab, dan hidup dalam sistem yang harmoni. Semut adalah umat Allah yang sering kita lupakan, namun sejatinya mereka hidup lebih tunduk daripada banyak manusia.
Mari kita buka mata dan hati. Mungkin, dari makhluk kecil yang sunyi ini, kita akan kembali menemukan arah menuju kehambaan sejati.(emha)