ppmindonesia.com.Magelang – Menjelang waktu Dzuhur, rumah kami kedatangan tamu istimewa yang sudah lebih dari tiga dekade tidak bersua. Ir. Prihandoyo Kuswanto — arsitek, pemikir kebangsaan, dan pendiri Pusat Studi Rumah Pancasila — tiba tanpa banyak protokol, sebagaimana gayanya sejak dulu: sederhana namun penuh makna. Ia mengabari bahwa baru saja tiba dari Yogyakarta, usai bertemu dengan Prof. Dr. Sofyan Effendy, akademisi dan birokrat senior.
Nomor ponsel saya ia peroleh setelah bersua dengan Prof. Dr. Ir. Mohammad Daniel Rasyid — pakar kelautan, mantan Wakil Rektor ITS, dan sahabat lama kami — dalam sebuah pertemuan dengan Mas Ahmad Muzani, Ketua MPR RI, di Pesantren Al-Ishlah Bondowoso.
Pesantren tersebut diasuh oleh KH Toha Makshum, putra dari almarhum Kyai Makshum, ulama kharismatik sekaligus sahabat dekat Prof. Daniel, Ir. Prihandoyo, dan juga saya sendiri.
Pertemuan ini menjadi jembatan nostalgia yang mengalirkan kembali kenangan pertengahan 1980-an. Saat itu, Mas Prihandoyo bersama sahabat-sahabatnya dari Pusat Peran Serta Masyarakat — Mas Aly Mustafa, Badrus Zaman, Luluk, dan Haryadi — sempat tinggal di rumah kami di Jalan Cakalang, Rawamangun, hampir sebulan lamanya.
Mereka tengah menggarap proyek Pengembangan Suku Asmat di Papua, di bawah naungan sebuah yayasan yang dipimpin oleh Letjen (Purn.) Charis Suhud, kala itu menjabat sebagai Ketua MPR RI.
Sebagai arsitek muda yang idealis, Mas Pri sangat aktif dalam kajian sosial dan pengabdian ke masyarakat pedalaman. Papua, khususnya wilayah Asmat, menjadi ladang pengabdian yang membentuk perspektifnya tentang Indonesia dari pinggiran. Ia bukan sekadar arsitek fisik, tapi juga arsitek gagasan—terutama tentang bagaimana negara hadir untuk rakyatnya yang paling terpinggirkan.
Kini, Mas Pri melanjutkan misinya melalui Pusat Studi Rumah Pancasila yang berbasis di Surabaya. Ia rajin berkeliling kampus dan ruang-ruang diskusi, menyuarakan semangat Pancasila sebagai rumah bersama, bukan sekadar jargon administratif.
Pikirannya banyak terinspirasi oleh HOS Tjokroaminoto, tokoh pergerakan awal abad 20 yang mengajarkan bahwa politik dan kebangsaan harus berpijak pada akhlak.
Dalam pertemuan yang hangat itu, ia sempat bertemu dengan anak saya, Navis, dan cucu saya, Inara. Kami larut dalam perbincangan dan tawa — mengenang masa lalu ketika Mas Pri dan kawan-kawan sering bermain dan makan bersama Navis yang saat itu masih TK.
Waktu seolah berjalan mundur, mengingatkan bahwa ikatan batin tak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk disapa kembali.
Pertemuan ini bukan hanya nostalgia, tapi juga pengingat bahwa kerja intelektual dan pengabdian tidak mengenal batas usia.
Mas Pri masih setia pada jalan sunyi para pemikir: menyemai nilai, menantang dogma, dan menghidupkan kembali percakapan tentang masa depan Indonesia dari akar budaya dan suara rakyat.(m habib chirzin)
*M Habib Chirzin; Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional 1994 – 1998, sebagai mentor dan guru bagi para aktifis PPM
 













 
									

 












