ppmindonesia.com.Jakarta – Bayangkan sebuah padang gersang yang tampak mati dan tak bernyawa. Tak ada hijau, tak ada gerak. Namun ketika hujan pertama turun, tanah itu mulai bergolak perlahan, seolah bernapas.
Tak lama kemudian, benih-benih kecil menembus permukaan bumi, menciptakan kehidupan baru. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana Al-Qur’an menggambarkan proses ini lebih dari seribu tahun yang lalu?
Dalam Surah Al-Hajj ayat 5, Al-Qur’an menyajikan sebuah gambaran yang sangat kuat sekaligus penuh makna:
….وَتَرَى الْاَرْضَ هَامِدَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَاَنْۢبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ ۢ بَهِيْجٍ ٥
“…Kamu melihat bumi ini tandus dan tidak bernyawa, namun apabila Kami turunkan air ke atasnya, maka bumi itu bergetar, mengembang, dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah secara berpasang-pasangan.”(QS. Al-Hajj, 22:5)
Ayat ini bukan hanya metafora spiritual tentang kebangkitan, tetapi juga menyimpan detail ilmiah yang mencengangkan tentang proses hidupnya tanah setelah hujan.
Tiga tahapan dijelaskan secara runtut: getaran, pengembangan, dan tumbuhnya tanaman secara berpasangan. Mari kita telusuri maknanya dalam cahaya sains modern.
- Getaran Tanah: Gerakan Brown dalam Tetesan Hujan
Ketika tetesan hujan jatuh ke tanah, ia menabrak partikel-partikel mineral dan organik di permukaan bumi.
Proses ini menimbulkan gerakan acak yang dikenal sebagai Gerakan Brown, dinamai dari ilmuwan Skotlandia, Robert Brown, yang menemukannya pada 1827. Gerakan ini merupakan pergerakan partikel mikroskopis akibat tumbukan molekul air secara acak dan tak beraturan.
Menariknya, Al-Qur’an menyebut bahwa bumi “bergetar” sebagai respons awal setelah turunnya air.
Kata ihtazzat (bergetar) yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan adanya gerakan internal dalam tanah yang mati—yang kini diakui dalam ilmu fisika partikel sebagai awal dari dinamika kehidupan mikroorganisme di dalam tanah.
- Pengembangan Tanah: Menyerap Air, Membuka Kehidupan
Setelah proses getaran, partikel tanah mulai menyerap air. Struktur tanah terdiri dari lapisan-lapisan mineral yang dapat menyerap air dan ion. Ketika air masuk, lapisan tanah mengembang.
Ruang antar partikel meluas, menciptakan kondisi lembab dan berpori yang ideal untuk kehidupan bakteri, jamur, dan organisme lain.
Dalam satu meter kubik tanah yang subur, terdapat sekitar 30 juta bakteri. Mereka inilah yang bekerja tanpa terlihat, memecah materi organik, menyediakan unsur hara, dan mendukung pertumbuhan tanaman.
Al-Qur’an menggambarkan tahap ini sebagai bumi yang “mengembang”—warabat—sebuah deskripsi yang sangat tepat secara ilmiah.
- Tumbuh Berpasangan: Benih, Kehidupan, dan Reproduksi
Tahap akhir dari transformasi tanah adalah tumbuhnya tanaman. Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan itu muncul secara berpasang-pasangan.
Ini mencerminkan sistem reproduksi dalam dunia tumbuhan, di mana unsur jantan dan betina memainkan peran dalam proses perkembangbiakan, baik melalui penyerbukan maupun pembelahan sel.
Kehidupan tumbuhan tidak terjadi secara acak. Ia mengikuti sistem, pola, dan hukum. Dan tanah yang sebelumnya mati menjadi sumber kehidupan baru—simbol kesuburan sekaligus isyarat spiritual tentang kebangkitan.
Tanah sebagai Perumpamaan Kebangkitan
Al-Qur’an tidak hanya mengisahkan fenomena alam, tetapi juga membingkainya sebagai tanda (āyah) bagi manusia. Dalam Surah Yasin ayat 33, disebutkan:
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الْاَرْضُ الْمَيْتَةُۖ اَحْيَيْنٰهَا وَاَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُوْنَ ٣٣
“Dan salah satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan kembali bumi itu dan Kami tumbuhkan dari bumi itu biji-bijian, maka dari itu mereka makan.”(QS. Ya-Sin, 36:33)
Tanah yang hidup kembali setelah mati dijadikan analogi bagi kebangkitan manusia. Seperti tanah yang terlihat tidak bernyawa namun menyimpan potensi kehidupan, demikian pula manusia yang kelak akan dibangkitkan dari tanah.
Proses hidup dan mati dalam alam bukan sekadar siklus biologis, melainkan juga pengingat akan kehidupan yang lebih abadi.
Harmoni Sains dan Wahyu
Apa yang ditunjukkan oleh ayat-ayat ini bukan semata-mata keindahan sastra, melainkan juga keakuratan ilmiah yang baru sepenuhnya dipahami manusia di abad modern. Ini menjadi bukti bahwa antara wahyu dan ilmu tidak pernah ada pertentangan—justru saling melengkapi.
Dalam dunia yang terus menghadapi krisis lingkungan, degradasi tanah, dan kekeringan, pelajaran dari Al-Qur’an tentang tanah menjadi sangat relevan. Tanah bukan benda mati.
Ia adalah ruang kehidupan, tempat keajaiban dimulai dari partikel terkecil. Maka memuliakan tanah, merawatnya, dan menghargai air yang turun darinya adalah bentuk penghormatan terhadap tanda-tanda Tuhan.
Sains telah membantu kita memahami proses tanah menjadi hidup secara rinci. Namun Al-Qur’an telah menyentuh inti proses ini lebih dari 14 abad yang lalu—dalam bahasa yang puitis sekaligus presisi.
Ini menunjukkan bahwa wahyu bukanlah antitesis ilmu, tetapi cahayanya yang lebih dahulu datang.
Tanah adalah isyarat. Air adalah pemicu. Dan kehidupan adalah janji—yang kelak akan dikembalikan kepada kita semua.(acank)