Scroll untuk baca artikel
BeritaPertanian

“Santri Mbangun Desa”: Dari Pesantren Menuju Lumbung Mandiri dan Petani Milenial

152
×

“Santri Mbangun Desa”: Dari Pesantren Menuju Lumbung Mandiri dan Petani Milenial

Share this article

penulis: Guntoro Soewarno | Editor : Asyary

Business Session, tema Kemandirian Pesantren dengan Pertanian Terintegrasi Besbasir Organik” oleh Guntoro Soewarno

 

Mengapa saya selalu memulai dari pesantren?

ppmindonesia.com.Jakarta– Hari ini, saya telah melatih 58 pesantren dalam program pelatihan pertanian organik. Pada Juli mendatang, akan bertambah satu lagi pesantren besar di Jambi. Dari seluruh jumlah itu, 22 pesantren telah mulai menjalankan model ini, dan delapan di antaranya telah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan.

Pengalaman bersama Pesantren Sidogiri di Pasuruan yang memiliki 17 ribu santri menjadi contoh menarik. Antusiasme tinggi di sana justru menimbulkan perebutan peran sejak awal, terutama setelah mereka melihat potensi besar dari pertanian organik yang saya kembangkan. Ini pertanda baik—kesadaran akan pentingnya kemandirian dan keberlanjutan telah tumbuh di lingkungan yang selama ini dikenal sebagai penjaga tradisi.

Ketika saya menggarap pesantren, ada dua pendekatan utama yang selalu saya terapkan.

  1. Menciptakan kemandirian pangan. Pesantren umumnya memiliki kebutuhan pangan yang besar. Sidogiri, misalnya, setiap hari memasak sekitar 700 kilogram beras. Ini tentu memerlukan biaya besar dan, lebih penting lagi, berisiko karena sebagian besar produk yang dikonsumsi berbahan kimia.

Dengan sistem pertanian organik, beras yang dikonsumsi santri bisa mereka tanam sendiri: lebih hemat, lebih sehat.

2.  mencetak kader petani santri. Saya mendidik santri yang berasal dari keluarga petani selama enam bulan penuh. Mereka dibekali ilmu pertanian organik, kemudian diminta pulang ke kampung untuk menyewa lahan dan menerapkan ilmunya. Targetnya, mereka menjadi ustaz-ustaz muda yang tidak hanya berilmu agama, tapi juga kaya dari hasil bertani.

Peran kiai dalam model ini sangat strategis. Ketokohannya memberi kepercayaan masyarakat. Begitu hasil panen pesantren melampaui 8 ton per hektar, para petani di sekitarnya akan berkata, “Pak Kiai punya pupuk bagus.” Maka secara otomatis, inovasi pertanian menyebar dari pesantren ke masyarakat.

Saya menyebut program ini “Santri Mbangun Desa.” Di Semarang, saya pernah melatih 20 lulusan pesantren tahfiz yang sebelumnya hanya mengandalkan amplop sebagai sumber hidup. Setelah pelatihan enam bulan, mereka pulang ke kampung dan mulai bertani. Hanya dalam delapan bulan, pendapatan mereka naik signifikan—minimal Rp 5 juta per bulan.

Ke depan, saya targetkan dalam tiga tahun ke depan, mereka sudah bisa mengelola ribuan ayam kampung organik, 100 ekor kambing, dan 20 ekor sapi. Mereka menjadi tokoh muda yang tidak hanya kaya, tapi juga dihormati karena membawa perubahan nyata di kampungnya.

Model ini bukan sekadar menggaet kaum milenial. Lebih dari itu, ini tentang menyelamatkan sawah-sawah desa yang ditinggalkan petani karena merugi. Santri-santri tahfiz yang terdidik dan memiliki visi jelas menjadi harapan baru: merebut kembali lahan-lahan tidur dan menghidupkan kembali pertanian berbasis organik yang menguntungkan.

Alhamdulillah, permintaan pelatihan untuk model ini terus berdatangan. Di Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), kami menyebutnya dengan teori poligon—teori keterpengaruhan. Ketika satu titik (santri sukses) bergerak, maka titik-titik di sekitarnya ikut bergerak. Inilah harapan kami: mengubah lanskap desa dan masa depan pertanian Indonesia dari pusat-pusat ilmu keagamaan.

Selamat berjuang. Aku bangga jadi petani.

Penulis adalah Pemilik “Ali OrganicFarm (ALO FARM) Semarang, juga Ketua Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat dan Kerjasama Antar lembaga MW Kahmi Jawa tengah. Juga Peneliti  dan Ketua di Institut Pengembangan Masyarakat (Ipama) PPM Indonesia*

Example 120x600