Scroll untuk baca artikel
BeritaEdukasi

Bahaya Tersembunyi di Balik Layar Gadget: Waspadai Dampaknya pada Anak

14
×

Bahaya Tersembunyi di Balik Layar Gadget: Waspadai Dampaknya pada Anak

Share this article

Penulis : acank| Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dari ruang tamu hingga ruang kelas, tak sulit menemukan anak yang terpaku di depan layar.

Entah bermain game, menonton video, atau sekadar menggulir layar media sosial, gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia anak masa kini. 

Di balik kenyamanan dan hiburan yang ditawarkan, ada bahaya tersembunyi yang kerap tak disadari: ancaman terhadap perkembangan otak, emosi, hingga perilaku sosial anak.

Pada awalnya, banyak orang tua mengira bahwa memberi anak akses ke gadget bisa menjadi solusi praktis: anak jadi anteng, tidak rewel, bahkan tampak cerdas karena cepat belajar teknologi. 

Namun, sejumlah studi dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa layar tidak sekadar menenangkan. Ia juga bisa menggerus daya konsentrasi, empati, dan kesehatan mental anak.

Dari Asyik Jadi Candu

Menurut Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), Ketua Unit Tumbuh Kembang Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), paparan berlebihan terhadap gadget bisa berdampak serius pada perkembangan neurologis anak. 

“Anak yang terlalu sering terpapar layar cenderung mengalami keterlambatan bicara, kesulitan tidur, hingga gangguan konsentrasi dan perilaku agresif,” ungkapnya dalam seminar parenting digital beberapa waktu lalu.

Apa yang terlihat sebagai keasyikan ternyata bisa berkembang menjadi ketergantungan. Dr. Rini menyebut fenomena “anak tantrum saat gadget diambil” sebagai tanda awal kecanduan. Sayangnya, banyak orang tua justru menyerah dan memilih kembali memberikan gawai demi ketenangan sesaat.

Bahaya Diam-diam di Balik Pixel

Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., juga menekankan pentingnya memahami dampak psikososial dari penggunaan gadget yang tidak terkontrol. “Penggunaan gadget tanpa pendampingan mengurangi interaksi sosial anak. 

Padahal, pada masa emas tumbuh kembang, anak belajar empati dan nilai-nilai sosial dari berinteraksi langsung, bukan dari layar,” jelasnya.

Sebuah studi oleh Journal of the American Medical Association (JAMA) Pediatrics bahkan menemukan bahwa anak yang menghabiskan lebih dari dua jam per hari di depan layar cenderung memiliki skor kognitif yang lebih rendah dalam tes bahasa dan memori. 

Di sisi lain, aktivitas seperti membaca buku, bermain peran, atau berinteraksi dengan alam justru memperkaya struktur otak anak secara alami.

Tidak hanya itu, paparan konten yang tidak sesuai usia—baik kekerasan, pornografi, atau perilaku konsumtif—bisa merusak pemahaman anak tentang realitas dan norma sosial. Di sinilah letak bahaya tersembunyi yang paling sulit dikendalikan.

Mengembalikan Kendali ke Tangan Orang Tua

“Gadget bukan musuh, tapi juga bukan pengasuh,” kata Dr. Seto Mulyadi, psikolog anak yang akrab disapa Kak Seto. Ia menegaskan bahwa teknologi harus berada di bawah kendali orang tua, bukan sebaliknya.

“Kita harus cerdas digital. Berikan aturan, waktu, dan pendampingan saat anak menggunakan gadget. Jangan biarkan mereka tersesat di dunia maya yang tanpa pagar.”

Ia mengajak keluarga untuk kembali menghidupkan aktivitas bersama di luar layar—membaca buku, bermain board game, atau berkebun. 

Menurutnya, kualitas hubungan keluarga lebih menentukan kebahagiaan anak dibanding hiburan visual sesaat dari gawai.

Di tengah banjir informasi dan hiburan digital, perlu keberanian dari orang tua untuk berkata: cukup. Tidak mudah memang, apalagi saat semua orang—termasuk orang dewasa—juga terjerat dalam ekosistem digital. Tapi anak-anak membutuhkan panutan, bukan larangan kosong.

Menuju Literasi Digital Keluarga

Solusi tidak datang dari pelarangan semata, melainkan dari literasi digital yang menyeluruh. Pemerintah, sekolah, hingga media massa memiliki peran besar dalam membentuk budaya penggunaan gadget yang sehat.

Program edukasi seperti digital parenting perlu diperluas hingga ke komunitas terkecil: RT, posyandu, hingga taman kanak-kanak.

Sebab bahaya terbesar dari teknologi bukan sekadar pada gawai itu sendiri, tapi pada ketidaksiapan kita dalam menyikapinya.(acank)

Example 120x600