ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah kabut asap konflik dan retorika diplomatik yang mengambang, satu pernyataan dari seorang diplomat Iran di Yogyakarta menggema kuat: “Rezim Zionis bukan sebuah negara. Mereka adalah sebuah tentara yang menduduki wilayah lain.” Kalimat itu disampaikan oleh Muhammad Boroujerdi, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, dalam Ambassadorial Lecture di Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis (26/6/2025).
Boroujerdi tidak sekadar menyampaikan posisi resmi Iran atas konflik yang tengah berlangsung dengan Israel dan Amerika Serikat. Ia menguliti satu aspek penting dari dinamika Timur Tengah: inkonsistensi narasi Israel tentang damai dan perang. Dalam pandangan Teheran, narasi damai yang digaungkan Israel hanyalah strategi saat sedang terdesak, bukan cermin dari itikad tulus menyelesaikan konflik.
“Ketika merasa kuat, mereka menyerang. Tapi ketika terdesak, mereka bicara tentang perdamaian dan gencatan senjata. Itu pola yang berulang. Maka mereka tidak boleh dibiarkan menjadi kuat,” tegas Boroujerdi.
Dari Serangan ke Serangan Balik
Konflik terbaru meledak pada 13 Juni 2025. Israel meluncurkan serangan simultan ke sejumlah situs nuklir dan militer Iran. Serangan ini berlangsung selama 12 hari dan menewaskan puluhan warga sipil serta merusak infrastruktur strategis. Tidak tinggal diam, Iran membalas lewat Operasi True Promise III, menghantam berbagai titik di wilayah pendudukan dengan gelombang rudal presisi.
Sebagai tanggapan atas serangan Iran, Amerika Serikat pada 22 Juni turut menyerang fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Presiden AS Donald Trump kemudian mengumumkan gencatan senjata pada 24 Juni—sebuah langkah yang disebutnya sebagai “peluang damai”. Namun, bagi Iran, gencatan senjata itu hanya episode lain dari taktik yang berulang.
Pola yang Dikenal dan Dicurigai
“Ini bukan kali pertama. Setiap kali Israel mengalami tekanan, mereka memunculkan wacana damai. Tapi begitu mereka punya kendali udara atau dukungan militer dari AS, mereka kembali menyerang,” kata Dr. Foad Izadi, analis politik dari Universitas Tehran. Dalam wawancara dengan Press TV, ia menjelaskan bahwa Israel menggunakan narasi damai sebagai alat legitimasi di panggung internasional, sembari melanjutkan ekspansi dan serangan di medan nyata.
Hal senada disampaikan Trita Parsi, pendiri Quincy Institute for Responsible Statecraft, yang menulis: “Di tangan Israel, diplomasi bukan jalan keluar dari konflik, tapi alat untuk mengulur waktu, membangun kekuatan, dan kembali menyerang saat kondisi menguntungkan.”
Iran meyakini bahwa seruan damai dari Tel Aviv tidak lebih dari “jeda strategis.” Ini pula yang menjadi alasan mengapa Teheran menolak semua bentuk mediasi dengan Israel. “Kami tidak butuh mediasi. Kami hanya merespons agresi,” ujar Boroujerdi.
Diplomasi atau Ilusi?
Sikap Iran yang keras terhadap proses perdamaian kerap dikritik sebagai tidak fleksibel. Namun bila ditelusuri dari akar historis dan pengalaman panjangnya, penolakan itu bukan tanpa dasar. Iran tidak mengakui Israel sebagai negara yang sah, melainkan sebagai entitas kolonial yang berdiri di atas penderitaan rakyat Palestina.
Sejarawan Palestina, Ilan Pappé, dalam bukunya The Ethnic Cleansing of Palestine, mencatat bahwa narasi damai Israel selalu dikemas rapi untuk konsumsi internasional, sementara realitas di lapangan adalah pembongkaran rumah, pendudukan tanah, dan operasi militer rutin terhadap warga sipil. “It is a state that thrives on conflict, and shapes peace as war by other means,” tulisnya.
Iran melihat dirinya bukan hanya sebagai pihak yang diserang, tapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni. Ketika Israel menggaungkan perdamaian, bagi Teheran, itu hanyalah window dressing yang menutupi mesin agresi yang tak pernah berhenti.
Media, Persepsi, dan Standar Ganda
Konflik ini juga menunjukkan bagaimana media internasional berperan besar dalam membingkai narasi. Ketika Israel menyerang, berita yang muncul kerap menggunakan istilah “operasi pencegahan.” Namun saat Iran membalas, media Barat menggunakan kata-kata seperti “eskalasi” dan “ancaman.”
“Selama standar ganda ini masih digunakan, tidak akan pernah ada keadilan. Dan tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian sejati,” ujar Dr. Riza Sihbudi, peneliti senior Timur Tengah dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Ia menggarisbawahi bahwa Indonesia dan negara-negara Global South harus aktif mengimbangi narasi yang timpang. “Narasi alternatif sangat penting, karena di dunia yang dikendalikan oleh opini, persepsi bisa lebih berbahaya daripada peluru,” tambahnya.
Damai Tidak Cukup dari Kata-Kata
Dari serangan rudal hingga diplomasi panggung, dari pernyataan media hingga mediasi formal, konflik Iran-Israel terus berjalan di atas fondasi ketidakpercayaan. Jika narasi damai hanya muncul saat lemah dan agresi kembali saat kuat, maka perdamaian bukanlah tujuan—melainkan alat.
Seperti yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi, “Peace is not the absence of conflict, but the presence of justice.” Selama keadilan absen dari proses perdamaian, maka narasi damai akan selalu dicurigai sebagai selubung manipulasi.
Dan dari Yogyakarta—jauh dari Tel Aviv maupun Teheran—pesan Boroujerdi menjadi pengingat: di balik narasi, selalu ada motif. Maka publik dunia harus jeli membaca mana damai yang sejati, dan mana damai yang dibuat hanya untuk mengulur serangan berikutnya.(acank)