ppmindonesia.com.Jakarta– Di tengah gempuran rudal antara Iran dan Israel, dunia Muslim nyaris hening. Tidak ada pernyataan solidaritas besar-besaran. Tidak pula konsolidasi kekuatan negara-negara Islam untuk menanggapi satu lagi eskalasi yang mengguncang kawasan. Yang terlihat justru keheningan—dan di balik keheningan itu, luka perpecahan yang belum pernah benar-benar sembuh.
Pertanyaan besar kembali menyeruak: mengapa umat Islam gagal bersatu? Dari Timur ke Barat, dari Yerusalem ke Teheran, dari Mekah hingga Jakarta—umat Islam adalah mayoritas di banyak negeri, namun minoritas dalam hal pengaruh global dan respons kolektif terhadap ketidakadilan yang menimpa mereka sendiri.
Ironisnya, alih-alih mendekat saat cobaan datang, peristiwa besar seperti konflik Iran-Israel justru memperlebar jurang di antara umat Islam. Bukan karena musuh semakin kuat, tetapi karena umat terlalu sibuk memelihara perbedaan.
Dari Mazhab ke Dendam
Sejarah mencatat, mazhab lahir sebagai ijtihad—sebuah usaha manusia memahami wahyu Tuhan dalam konteks sosial yang kompleks. Namun, ijtihad itu berubah bentuk menjadi identitas eksklusif. Sunni dan Syiah bukan lagi sebatas perbedaan pandangan fikih, melainkan menjadi poros kekuasaan, bahkan alat politik.
Di Timur Tengah, konflik ini semakin nyata. Ketika Iran—yang mayoritas Syiah—menyatakan dukungan terhadap Palestina dan melawan Israel, banyak negara-negara Sunni justru menjauhinya. Serangan Israel ke Teheran tidak menghasilkan gelombang solidaritas besar dari dunia Islam. Bahkan beberapa negara memilih tetap menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Tel Aviv.
Perbedaan mazhab yang dulu bersifat teologis kini menjelma menjadi dinding politik. Bukan hanya membelah keyakinan, tetapi juga memecah loyalitas terhadap kebenaran dan keadilan.
Umat yang Sibuk Mengadili
Sebagian umat lebih sibuk saling menghakimi sesama Muslim daripada melawan kezaliman bersama. Iran dituding punya ambisi memperluas Syiah, sementara negara-negara Teluk dituduh menjual solidaritas demi investasi dan senjata. Sementara itu, Palestina terus menderita, dan dunia hanya mencatat statistik korban tanpa upaya berarti untuk menghentikan ketidakadilan struktural yang mereka alami sejak 1948.
Padahal Al-Qur’an dengan tegas memperingatkan:
اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ … ١٥٩
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi golongan-golongan, engkau bukan bagian dari mereka sama sekali.” (QS Al-An’am: 159)
Perpecahan yang dijadikan alat untuk menegaskan identitas justru menjauhkan umat dari pesan utama Islam: persaudaraan, keadilan, dan pembelaan terhadap yang lemah.
Rudal yang Tak Membangunkan
Ketika rudal Iran meluncur ke arah Israel sebagai balasan atas serangan ke Teheran, dunia Islam tetap terpecah. Ada yang mengutuk Iran, ada pula yang diam. Tak banyak yang menyuarakan perlunya de-eskalasi atau menyerukan keadilan bagi semua pihak yang terdampak. Solidaritas justru datang dari individu dan komunitas, bukan dari negara atau lembaga resmi.
Peristiwa sebesar ini seolah hanya menjadi berita, bukan panggilan nurani.
Lebih menyakitkan lagi, dalam konflik yang lebih luas di Palestina, suara keadilan kerap dipelintir menjadi propaganda sektarian. Padahal, penderitaan rakyat Palestina bukan urusan Sunni atau Syiah, tetapi persoalan penjajahan dan penghilangan hak hidup. Di sinilah umat Islam, sekali lagi, gagal menjadikan Al-Qur’an sebagai titik temu.
Ketika Agama Dipelintir Jadi Alat Kekuasaan
Umat Islam kini lebih mudah percaya pada propaganda golongan daripada kebenaran universal Islam. Alih-alih berdialog, banyak yang memilih menuding. Alih-alih bersatu, masing-masing negara Islam justru membentuk blok sendiri yang lebih loyal pada kekuatan global daripada pada sesama Muslim.
Retorika keislaman hanya ramai saat pemilu, atau ketika menguntungkan elite. Tapi ketika harus menanggapi serangan terhadap sesama Muslim, kita lebih memilih diam, atau bahkan ikut mencibir karena perbedaan aliran.
Ini bukan sekadar kegagalan diplomasi. Ini adalah kegagalan spiritual dan moral umat. Islam bukanlah agama yang dibangun di atas mazhab, tetapi di atas wahyu Tuhan yang menyerukan keadilan, kasih sayang, dan persatuan.
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ..٨..
“Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Ma’idah: 8)
Ayat ini seharusnya menjadi fondasi sikap umat Islam dalam konflik apa pun. Tapi ia kerap dikalahkan oleh fanatisme sempit, atau pragmatisme geopolitik.
Jalan Pulang: Kembali ke Kitab, Bukan ke Golongan
Persatuan tidak lahir dari seruan emosional, tetapi dari keberanian untuk melepaskan ego mazhab, nasionalisme sempit, dan ambisi kekuasaan. Dunia Islam tidak akan kuat selama nilai-nilainya dikendalikan oleh kepentingan luar dan perpecahan dalam.
Saatnya umat Islam menempuh jalan pulang ke Al-Qur’an—bukan dalam retorika, tapi dalam tindakan. Jalan yang menempatkan kemanusiaan di atas politik, keadilan di atas mazhab, dan persaudaraan di atas perbedaan.
Kalau tidak sekarang, lalu kapan? Dan kalau bukan kita, siapa lagi? (emha)