Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Islam Tanpa Golongan: Jalan Kembali dari Perpecahan dan Fanatisme

141
×

Islam Tanpa Golongan: Jalan Kembali dari Perpecahan dan Fanatisme

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.JakartaPerang Iran dan Israel yang belakangan ini memanas tidak hanya menyisakan kecemasan global, tetapi juga menyentakkan satu kenyataan yang sering kali luput dari perhatian umat Islam: perpecahan internal yang dalam, kompleks, dan seringkali tidak disadari telah menggerogoti esensi Islam itu sendiri.

Di satu sisi, Iran—negara dengan basis Syiah yang kuat—mengklaim sedang memperjuangkan nasib Palestina dan menolak eksistensi Israel atas nama Islam dan perlawanan. Di sisi lain, sebagian besar negara Muslim yang mayoritas Sunni justru memilih diam, atau bahkan secara diam-diam menjalin hubungan dengan Israel, seperti terlihat dari perjanjian Abraham Accords. Solidaritas dunia Islam tampak dingin. Reaksi terhadap perang bukan ditentukan oleh nilai, tetapi oleh golongan, afiliasi, dan kepentingan strategis.

Dari sini muncul pertanyaan mendasar: apakah Islam hari ini masih berjalan di atas prinsip kesatuan dan keadilan, ataukah telah terperangkap dalam jerat mazhab, fanatisme, dan kepentingan politik jangka pendek?

Islam dan Luka Sejarah yang Terlupakan

Sejarah umat Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW mencatat sebuah perpecahan besar: antara Syiah dan Sunni. Perpecahan ini bukan hanya soal politik kepemimpinan pasca-Nabi, tetapi telah berkembang menjadi sistem teologi, hukum, hingga budaya keagamaan yang berbeda.

Sunni terpecah lagi ke dalam empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Syiah memiliki mazhab-mazhab utama seperti Ja’fariyah, Ismailiyah, dan Zaidiyah. Masing-masing mewariskan tafsir, tradisi, dan praktik ibadah yang berbeda—seringkali saling bertentangan, bahkan saling menyesatkan.

Padahal Al-Qur’an secara tegas mengingatkan dalam Surat Al-An’am ayat 159:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ ۝١٥٩

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-mecah agama mereka dan menjadi golongan-golongan, engkau (Muhammad) bukanlah bagian dari mereka dalam sesuatu apapun. Sesungguhnya urusan mereka hanya di sisi Allah.”

Ayat ini tidak ditujukan kepada umat agama lain, tetapi kepada mereka yang menyatakan diri sebagai Muslim namun menjadikan agama sebagai kendaraan pembelahan sosial dan identitas sektarian. Sayangnya, peringatan itu tidak pernah benar-benar dijadikan pegangan.

Fanatisme: Ketika Kebenaran Diwakilkan oleh Golongan

Hari ini, banyak umat Islam yang lebih mengenali dirinya berdasarkan label-label golongan: Syafi’i, Salafi, Wahabi, Syiah, Asy’ari, atau bahkan kelompok politik seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan lainnya. Dalam banyak kasus, ajaran agama dijadikan identitas eksklusif yang memisahkan, bukan menyatukan.

Dari mimbar hingga media sosial, fanatisme berkembang pesat, seringkali mengatasnamakan dalil dan fatwa, tapi tidak menghasilkan akhlak dan adab. Mereka yang berbeda tafsir langsung dicap sebagai sesat, kafir, atau musuh Islam. Kebenaran dipersempit hanya milik kelompoknya, seolah Islam hanya sah bila sesuai dengan golongan tertentu.

Inilah bentuk tafaruq (perpecahan) yang telah diingatkan Al-Qur’an berkali-kali. Dalam Surat Al-Mu’minun ayat 53 ditegaskan:

فَتَقَطَّعُوْٓا اَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًاۗ كُلُّ حِزْبٍ ۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ ۝٥٣

“Tetapi mereka telah memecah belah urusan (agama) mereka di antara mereka menjadi beberapa golongan, masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.”

Fanatisme semacam ini bukan hanya membahayakan ukhuwah umat, tapi juga melemahkan potensi Islam untuk hadir sebagai kekuatan moral dalam menghadapi tantangan global: kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, dan krisis kemanusiaan.

Jalan Kembali: Islam Tanpa Golongan

Kita perlu membayangkan kembali Islam sebagai jalan hidup yang tidak bergantung pada label-label mazhab atau klaim kebenaran segelintir ulama. Kebenaran dalam Islam bukan milik satu golongan, tetapi milik mereka yang tunduk kepada Tuhan dengan hati yang bersih, akal yang terbuka, dan amal yang nyata.

Islam yang kembali kepada Al-Qur’an sebagai sumber utama, bukan yang terfragmentasi dalam warisan konflik masa lalu. Islam yang tidak menggantungkan iman pada fatwa atau konsensus elite, tetapi pada keterhubungan langsung seorang hamba kepada Tuhannya.

Islam tanpa golongan bukan berarti Islam tanpa struktur atau tanpa ilmu. Tetapi Islam yang membebaskan, bukan membelenggu. Islam yang inklusif, bukan eksklusif. Islam yang mengajarkan bahwa keberagaman adalah rahmat, bukan ancaman.

Sebagaimana pesan luhur dalam Al-Qur’an (QS Al-Hujurat: 13):

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ … ۝١٣

“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa….”

Takwa, bukan mazhab. Akhlak, bukan golongan. Kemanusiaan, bukan simbol. Inilah jalan kembali yang semestinya ditempuh umat Islam hari ini.

Saatnya Menjadi Muslim Sejati

Di tengah dunia yang penuh perpecahan, Islam seharusnya menjadi jembatan—bukan tembok. Namun, hal itu hanya bisa terjadi jika umat Islam berani melepaskan identitas sektarian dan kembali kepada nilai-nilai luhur yang diajarkan langsung oleh Al-Qur’an.

Peradaban besar tidak dibangun oleh golongan, tetapi oleh nilai. Dan Islam, jika ingin kembali menjadi rahmat bagi semesta, harus dimulai dari pembersihan diri dari fanatisme, dari ego mazhab, dan dari obsesi politik.

Menjadi Muslim sejati berarti tunduk sepenuhnya kepada Allah—bukan kepada mazhab, bukan kepada golongan, bukan kepada manusia mana pun.(emha)

Catatan Redaksi

Tulisan ini bertujuan sebagai bahan refleksi atas kondisi umat Islam hari ini dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan mazhab atau aliran manapun. Perbedaan adalah keniscayaan, tetapi perpecahan adalah pilihan.

 

Example 120x600