ppmindonesia.com. Jakarta- Islam, sejatinya, bukan hanya agama yang terucap di mimbar atau tertulis di kitab. Ia adalah sistem nilai yang harus turun menyapa bumi, menyentuh manusia, dan menyelesaikan persoalan nyata umat. Inilah yang ditegaskan kembali dalam Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal yang digelar Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) pada 5–6 Juli 2025 di Islamic Center.
Pelatihan ini bukan sekadar mengisi waktu, tetapi mengingatkan bahwa dakwah yang hanya berhenti di lisan dan mimbar, tanpa kerja nyata, sering kehilangan makna. Dakwah bil hal hadir sebagai wajah Islam yang solutif, membumi, dan mampu menjawab tantangan zaman: kemiskinan, ketimpangan, ketergantungan ekonomi, hingga kerusakan lingkungan.
“Dakwah bil hal memerlukan perjuangan. Ia bukan slogan, melainkan kerja keras yang nyata,” ujar Parito, Ketua Panitia, dalam sambutannya.
Presidium PPM Nasional, Eko Suryono, mengawali pelatihan dengan kisah getir tentang seorang mahasiswi yang bunuh diri setelah ujian skripsi di Solo. Dalam tasnya hanya tersisa dokumen dan skripsi yang tak lagi berarti. “Anak muda sekarang sering memilih jalan pintas saat menghadapi masalah. Di sinilah tugas kita sebagai kader dakwah bil hal: hadir memberi jalan, bukan hanya bicara,” katanya.
Sepanjang dua hari pelatihan, para kader muda diajak belajar bahwa Islam bukan hanya soal nilai yang dihafalkan, tetapi juga tindakan yang diwujudkan. Tauhid yang sejati menuntut aksi nyata: mengolah bumi, merawat laut, dan mengisi lumbung-lumbung pangan untuk kesejahteraan umat.
Di ladang, mereka belajar bagaimana prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan bisa diwujudkan lewat pertanian yang sehat dan produktif. Di laut, mereka melihat ironi negeri maritim yang rakyat pesisirnya miskin, lalu belajar bagaimana koperasi dan inovasi bisa menjadi solusi. Di lumbung, mereka diajari pentingnya manajemen pangan keluarga dan distribusi yang merata, agar setiap orang merasakan keberkahan dari bumi yang sama.
Menik Soemarnoh, alumni IPB dan pakar ketahanan pangan, menegaskan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal menanam, tetapi juga soal keadilan distribusi dan manajemen ekonomi yang baik. Sementara Usup Supriyatna, Ketua Koperasi Mina Agar Makmur, berbagi kisah tentang bagaimana rumput laut yang dulu dianggap sampah pantai kini menjadi sumber kesejahteraan melalui produk mie rumput laut, pupuk cair Samuko, hingga jejaring pemberdayaan pesisir yang merentang dari Karawang hingga Cirebon.
“Kita tidak bisa hanya menunggu, apalagi mengeluh. Apa yang kita punya harus kita kelola, dengan niat baik dan keyakinan bahwa Allah akan menuntun,” kata Usup.
PPM ingin menegaskan bahwa dakwah bil hal bukanlah sekadar program, melainkan cara pandang. Pemberdayaan umat harus dimulai dari yang paling dekat: kampung, tambak, sawah, rumah sendiri. Di sanalah akar-akar kekuatan umat berada. Dari situ, Islam menemukan wajahnya yang hangat, bersahaja, tetapi tegas menghadapi persoalan.
Islam yang turun ke ladang berarti Islam yang hadir untuk petani: memberi ilmu, alat, dan akses untuk mengolah tanah dengan lebih baik. Islam yang turun ke laut berarti Islam yang menyapa nelayan: membebaskan mereka dari jeratan utang, memberi jalan untuk mengelola hasil laut dengan nilai tambah. Islam yang turun ke lumbung berarti Islam yang mengajarkan keluarga untuk cermat mengelola pangan, menjaga keberlanjutan, dan saling berbagi.
Prinsip kekhalifahan, sebagaimana ditegaskan PPM, bukan hanya jargon. Ia menuntut keberanian untuk bekerja, merawat bumi, dan membangun kemandirian. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi—bukan penguasa yang merusak, tetapi penjaga yang adil.
Dakwah bil hal adalah panggilan untuk kembali ke bumi. Di tangan mereka yang bersedia bergerak, Islam bukan hanya petuah di podium, melainkan jalan yang menuntun umat keluar dari kemiskinan, ketergantungan, dan krisis moral.
Dari ladang, laut, hingga lumbung, Islam hadir dalam wujud yang nyata: memberi, memberdayakan, dan menyembuhkan. Dan dari bumi yang dikelola dengan baik, lahir keberkahan yang kembali ke langit.
Dakwah yang sejati bukan hanya yang terdengar di telinga, tetapi yang terasa di perut dan hati umat. Di ladang, laut, dan lumbung, Islam menemukan wujudnya yang paling hakiki: rahmat bagi semesta alam.(acank)