Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Mengukur Diri, Membaca Masa Depan: Pelajaran dari Lokakarya PPM

84
×

Mengukur Diri, Membaca Masa Depan: Pelajaran dari Lokakarya PPM

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

Mas Parito dari PPM memfasilitasi workshop kader dakwah bil hal, di mana petani, pendidik, hingga pengusaha bersatu untuk membentuk kembali pemahaman tentang peran sebagai manusia dan agen perubahan. (foto doc.ppm, 5/7/25)

“Apakah kita bisa membaca masa lalu? Bisa. Tapi mampukah kita membaca masa depan?”

ppmindonesia.com.Jakarta– Pertanyaan itu tidak muncul dari ruang akademik, bukan pula dari meja seorang futuris. Pertanyaan itu lahir di tengah suasana hangat sebuah lokakarya yang digelar oleh Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) di Islamic Center Bekasi, dalam rangka Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal, Sabtu, dan Mingu  5 – 6 Juli 2025.

Di sana, para peserta dari berbagai latar belakang—petani, pendidik, pengusaha kecil, aktivis komunitas—berkumpul bukan sekadar untuk mendengar, tetapi untuk menggali, menyuarakan, dan membentuk kembali pemahaman mereka tentang peran sebagai manusia, sebagai khalifah, dan sebagai pelaku dakwah dalam kehidupan nyata.

Belajar Mengenali Diri

Sesi yang dipandu oleh dua tokoh senior PPM, Mas Parito dan Depri Cane Nasution, menjadi panggung kontemplatif sekaligus praktis. Depri membuka dengan mengajak peserta menyelami pertanyaan mendasar: Untuk apa kita hidup? Untuk apa kita bekerja? Untuk apa kita menabung di hari tua?

Terdengar sederhana. Tapi pertanyaan-pertanyaan itu seperti cermin: membuat peserta menunduk sejenak, merenungi apa yang selama ini dikerjakan, dan apa yang sesungguhnya dituju.

“Mengukur diri itu langkah awal. Kita tidak bisa berdakwah kepada orang lain kalau belum tahu siapa kita,” ujar Depri. “Dan dalam mengukur diri, kita akan sadar: kita tak bisa sendiri. Kita butuh orang lain, butuh ilmu, butuh pengalaman, dan butuh tujuan yang jelas.”

Merancang Masa Depan dari Komitmen Kecil

Lokakarya ini bukan tentang gagasan besar yang mengawang. Justru dari ruangan sederhana ini, para peserta mulai merumuskan rencana-rencana kecil yang bisa ditindaklanjuti setelah pelatihan. Mas Parito mengajak mereka menyusun tabel musyawarah aksi: mencatat komoditas unggulan, lokasi usaha, jumlah anggota kelompok, masalah yang dihadapi, dan potensi solusi.

Ada yang merancang pengembangan usaha cabai di Karawang. Ada yang ingin menghidupkan kembali usaha baju daring yang sempat mandek. Seorang guru menyampaikan rencana membentuk BUMS—Badan Usaha Milik Sekolah—untuk menyediakan katering sehat bagi pelajar. Dan seorang peserta muda mengusulkan pembentukan pesantren berbasis pemberdayaan masyarakat.

Setiap gagasan, sekecil apa pun, diterima dan dikaji. Karena seperti yang ditekankan para fasilitator, dakwah tidak selalu hadir dalam bentuk mimbar, melainkan bisa lahir dari ladang, dari dapur, dari ruang kelas, dari usaha mikro yang menyejahterakan.

Memandang Jauh ke Depan

“Kita bukan hanya dituntut membaca masa lalu, tetapi juga punya keberanian membaca masa depan,” ujar Depri. “Dan membaca masa depan bukan berarti bisa meramal. Tapi tentang menyusun langkah hari ini agar tidak tersesat besok.”

Pernyataan itu menjadi inti dari pelatihan ini: membaca masa depan adalah tentang merancang masa depan. Bukan menunggu keajaiban, tapi bekerja dengan strategi, membangun kolaborasi, dan menanamkan niat baik dalam kerja nyata.

Dalam diskusi yang sempat hangat, muncul kesadaran bersama bahwa kekhalifahan tidak bisa lagi dimaknai secara sempit sebagai kekuasaan atau urusan politik. Kekhalifahan adalah tanggung jawab kolektif untuk memakmurkan bumi, mendidik generasi, dan menebar kedamaian di tengah masyarakat yang rentan dan terpinggirkan.

Pelajaran yang Ditinggalkan

Di akhir sesi, peserta tidak hanya pulang membawa catatan. Mereka membawa kesadaran baru: bahwa mengukur diri dan membaca masa depan bukan dua hal yang terpisah. Keduanya saling melengkapi.

Tanpa keberanian mengukur diri, kita akan terjebak dalam ilusi kesalehan semu. Tanpa keberanian membaca masa depan, kita hanya akan menjadi penonton dari perubahan zaman.

Lokakarya ini mengingatkan bahwa setiap kader, setiap warga, punya potensi menjadi agen perubahan. Asal mereka mau jujur terhadap dirinya, terbuka pada kolaborasi, dan berani melangkah—meski dari skala yang paling kecil.

Di tengah derasnya wacana besar tentang dakwah, politik, dan pembangunan umat, lokakarya ini menempatkan satu hal yang paling penting kembali ke pusat: kesadaran individu untuk berubah, berkembang, dan berbuat nyata.

Itulah pelajaran dari PPM. Itulah langkah awal dari jawaban atas masa depan umat.* (acank)

Example 120x600