ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah semarak globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, identitas menjadi komoditas yang semakin cair. Kita hidup di era ketika definisi tentang siapa diri kita, apa tujuan hidup, dan kepada siapa kita tunduk tidak lagi dijawab dengan agama atau nilai-nilai spiritual, tetapi oleh apa yang sedang tren, viral, dan dianggap keren.
Dalam pusaran ini, budaya Barat sering hadir bukan sebagai pengetahuan yang memerdekakan, tetapi sebagai kemasan halus dari kultus ego yang menyamar sebagai kebebasan.
ebebasan atau Kebingungan?
Ide kebebasan yang digagas oleh pemikiran Barat modern kerap berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah pusat dari segala nilai. Maka, dalam pandangan itu, tidak ada kebenaran mutlak kecuali apa yang dirasakan benar oleh individu. Setiap opini dilindungi, setiap pilihan dilazimkan, dan setiap batas moral dianggap mengekang.
Namun, benarkah ini kebebasan?
اَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُۗ اَفَاَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكِيْلًاۙ ٤٣
“Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Maka apakah kamu akan menjadi pelindungnya?” (QS Al-Furqan: 43)
Ayat ini menjadi relevan dalam membaca situasi hari ini. Ketika manusia menjadikan keinginan pribadinya sebagai ilah (tuhan), maka semua otoritas eksternal — agama, guru, orang tua, bahkan akal sehat — bisa ditolak dengan alasan “aku tidak merasa cocok.”
Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut zaman ini sebagai “liquid modernity”, di mana segala sesuatu mengalir, tanpa kepastian dan makna permanen. Dalam kondisi itu, identitas tidak lagi bertumpu pada nilai, tetapi pada opini pribadi yang berubah-ubah.
Kultus Ego dan Kejatuhan Spiritualitas
Krisis identitas yang dialami generasi hari ini bukanlah karena kurangnya pilihan, melainkan karena terlalu banyak pilihan tanpa panduan nilai. Kebebasan tanpa arah menjelma menjadi beban eksistensial. Maka, muncullah apa yang disebut banyak psikolog sebagai “narcissistic culture”—budaya narsistik, di mana pencitraan diri lebih penting daripada pembentukan karakter.
Dr. Malik Badri, pakar psikologi Islam, menegaskan bahwa modernitas yang dipisahkan dari nilai spiritual akan selalu menghasilkan kegelisahan eksistensial. Manusia tidak lagi bertanya “apa yang benar?”, tetapi “apa yang saya suka?”. Bahkan dalam konteks ibadah, tak jarang prinsip “aku merasa” mengalahkan “Tuhan berfirman.”
Padahal, dalam Islam, identitas sejati bukan dibentuk oleh selera, tapi oleh penyerahan diri kepada Tuhan:
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٢
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am: 162)
Ketika Kebebasan Menjadi Kedok untuk Kemerdekaan dari Tuhan
Salah satu jebakan dari budaya kebebasan ala Barat adalah menjadikan Tuhan sebagai pilihan opsional, bukan pusat kehidupan. Gaya hidup, orientasi seksual, pilihan hidup — semuanya dilepaskan dari nilai-nilai transenden. Bahkan batas antara “hak individu” dan “kebebasan dari nilai” semakin kabur.
Namun, Islam memandang kebebasan bukan sebagai kemerdekaan dari Tuhan, tetapi kemerdekaan dari selain Tuhan. Itulah makna dari tauhid: melepaskan diri dari perbudakan terhadap ego, status sosial, hawa nafsu, dan pengaruh budaya yang menyesatkan.
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ ١١٥
“Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa tujuan), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS Al-Mu’minun: 115)
Identitas Muslim dibangun di atas pengakuan bahwa hidup ini punya arah, punya tujuan, dan bahwa manusia tidak sendirian dalam menentukan nilainya.
Merebut Kembali Identitas yang Hilang
Di tengah arus global yang menggoda dan budaya Barat yang mendominasi narasi kebebasan, umat Islam harus merebut kembali definisi identitas. Kita tidak menolak modernitas, tapi menolak modernitas tanpa moralitas. Kita tidak menolak kebebasan, tapi menolak kebebasan tanpa kebenaran.
Cendekiawan Muslim, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menekankan bahwa Islam bukan sekadar agama ritual, tapi kerangka makna yang membentuk kepribadian. Menurutnya, krisis identitas umat bukan karena kekurangan pengetahuan, tapi karena hilangnya adab — yakni kesadaran akan tempat dan tugas manusia dalam tatanan kosmik ciptaan Allah.
Dari Ego ke Tauhid
Budaya Barat mengajarkan bahwa untuk menjadi manusia merdeka, kita harus menjadi tuhannya sendiri. Tapi Al-Qur’an mengajarkan: untuk menjadi manusia sejati, kita harus menjadi hamba yang sadar siapa Tuhannya.
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣٠
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’, kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka, (seraya berkata): ‘Jangan takut dan jangan bersedih hati, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’” (QS Fussilat: 30)
Di tengah krisis identitas dan arus narsisme digital, hanya dengan kembali kepada tauhid, kita bisa menemukan makna, arah, dan jati diri. Karena kebebasan sejati bukanlah menjadi siapa pun yang kita mau, melainkan menjadi apa yang Allah kehendaki dari kita.(emha)