ppmindonesia.com.Jakarta – Koperasi, sejak awal kelahirannya, dimaksudkan sebagai alat pemberdayaan ekonomi rakyat. Ia lahir dari keprihatinan atas ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan yang mencekik rakyat kecil. Dengan semangat gotong royong, rakyat diajak untuk bergabung, mengumpulkan kekuatan, dan mengelola usaha bersama demi kesejahteraan yang merata.
Namun, realitas koperasi di tanah air jauh dari gambaran ideal itu. Di banyak tempat, koperasi justru menjadi alat untuk memperdaya, bukan memberdayakan rakyat. Rakyat sering hanya dijadikan sebagai “sapi perah” untuk menyetor iuran, tanpa pernah merasakan manfaat nyata dari koperasi yang mereka miliki.
Kisah-kisah tentang koperasi yang dijalankan oleh segelintir elite pengurus untuk kepentingan pribadi bukan rahasia lagi. Banyak koperasi dikelola secara feodal: pengurus merasa memiliki kekuasaan penuh, sementara anggota hanya diminta patuh tanpa hak untuk mengkritik atau menentukan arah kebijakan. Lebih parah lagi, ada koperasi yang hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan rentenir dengan bunga tinggi yang mencekik, atau sekadar papan nama untuk mendapatkan fasilitas tertentu dari pemerintah.
Padahal, di negara-negara yang berhasil, koperasi telah menjadi instrumen utama dalam memperkuat ekonomi rakyat. Di Denmark, koperasi petani menguasai hampir seluruh rantai pasok pangan, dari produksi hingga distribusi. Anggotanya tidak hanya mendapatkan harga jual yang layak, tetapi juga layanan seperti pendidikan, teknologi, bahkan jaminan kesehatan ternak. Di Singapura, NTUC FairPrice mampu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau sambil tetap menghasilkan keuntungan bagi anggotanya, yang jumlahnya ratusan ribu.
Keberhasilan di negara-negara itu menunjukkan bahwa koperasi yang benar-benar dijalankan dengan prinsip gotong royong, profesionalisme, dan transparansi bisa menjadi pilar ekonomi rakyat yang tangguh. Rakyat bukan hanya penonton, melainkan pemilik yang aktif, berdaya, dan diuntungkan.
Di Indonesia, sudah saatnya kita berhenti menjadikan koperasi sekadar slogan tahunan yang dibacakan di podium setiap 12 Juli. Koperasi perlu dikembalikan kepada rakyat, dengan pengelolaan yang profesional, transparan, dan demokratis. Rakyat pun harus kembali menyadari bahwa koperasi adalah milik bersama, bukan milik segelintir pengurus. Mereka perlu aktif terlibat, mengawasi, bahkan berani mengkritisi jika terjadi penyimpangan.
Pemerintah, sebagai fasilitator, harus memastikan bahwa koperasi tidak disalahgunakan oleh oknum untuk kepentingan pribadi. Pengawasan harus lebih tegas, pendidikan anggota harus diperkuat, dan teknologi harus dimanfaatkan untuk meningkatkan layanan dan transparansi.
Koperasi memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi rakyat. Namun, potensi itu hanya akan menjadi nyata jika koperasi kembali pada jati dirinya: sebagai lembaga pemberdaya, bukan memperdaya rakyat.
Kita tidak kekurangan contoh baik. Kita hanya kekurangan kemauan untuk belajar, memperbaiki diri, dan kembali pada prinsip dasar koperasi yang sesungguhnya. Hari ini adalah saat yang tepat untuk memulai lagi: menjadikan koperasi sebagai rumah bagi rakyat untuk berdaya bersama, bukan sebagai alat untuk memperdaya rakyat.(acank)