ppmindonesia.com.Jakarta – Tanggal 12 Juli selalu menjadi momentum refleksi bagi bangsa ini: Hari Koperasi. Dalam setiap pidato dan laporan resmi, koperasi dipuji sebagai “soko guru perekonomian nasional”.
Namun, di balik jargon yang indah itu, kondisi koperasi di lapangan sering jauh dari cita-cita: banyak yang sekadar formalitas, bahkan tak jarang hanya menjadi sarana memperkaya segelintir pengurus.
Padahal, jika kita mau belajar dari pengalaman negara lain, koperasi terbukti mampu menjadi pilar ekonomi yang nyata. Tengoklah Singapura dengan NTUC FairPrice-nya, yang menyediakan kebutuhan pokok murah dan stabil bagi rakyat sambil tetap menguntungkan anggotanya.
Atau Denmark, yang sejak abad ke-19 mengembangkan koperasi petani yang kini menguasai 90 persen pasar pertanian dan produk olahannya. Di sana, koperasi tidak hanya menjadi toko serba ada atau lembaga simpan pinjam, melainkan ekosistem ekonomi yang melibatkan rakyat dari hulu hingga hilir.
Sebaliknya di Indonesia, koperasi justru kerap menjadi alat memperdaya rakyat, bukan memberdayakan. Banyak koperasi hanya berlomba-lomba mengejar jumlah anggota, tetapi abai pada kualitas layanan.
Modal lemah, pengelolaan tidak profesional, SDM minim keterampilan, hingga kesadaran anggota yang rendah, menjadi masalah klasik yang belum kunjung terselesaikan. Ironisnya, praktik rentenir dan penyalahgunaan dana anggota masih terjadi, memperburuk citra koperasi di mata masyarakat.
Kita juga harus jujur mengakui bahwa pemerintah selama ini belum sepenuhnya serius dalam membina koperasi. Pengawasan lemah, pembinaan setengah hati, dan regulasi yang seringkali lebih memberatkan daripada melindungi, membuat banyak koperasi berjalan apa adanya. Bahkan, tak jarang oknum pemerintah justru ikut bermain dengan koperasi nakal.
Maka, sudah saatnya kita membenahi koperasi secara menyeluruh. Ada tiga hal pokok yang perlu ditekankan.
Pertama, memperkuat profesionalisme pengelola dan anggota koperasi melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
Kedua, mendorong inovasi, termasuk digitalisasi layanan, supaya koperasi lebih relevan dan menarik bagi generasi muda. Ketiga, memastikan pemerintah hadir dengan kebijakan yang berpihak, pembinaan yang nyata, dan pengawasan yang tegas.
Koperasi semestinya bukan hanya wadah simpan-pinjam yang dijalankan seadanya, tetapi benar-benar menjadi wadah gotong royong ekonomi rakyat. Anggota seharusnya merasa memiliki, mendapatkan manfaat nyata, dan berkontribusi aktif dalam pengelolaan.
Begitu pula pengurus, harus bekerja dengan transparan dan mengutamakan kepentingan anggota, bukan memperkaya diri.
Jika Singapura yang kecil bisa, jika Denmark yang jauh lebih sempit lahannya bisa, mengapa kita tidak? Dengan luas wilayah, sumber daya alam, dan jumlah penduduk yang besar, Indonesia seharusnya bisa membangun koperasi yang kuat dan berkualitas — bukan hanya banyak di angka, tetapi juga nyata manfaatnya.
Hari Koperasi kali ini mestinya menjadi titik balik. Mari bersama-sama menjadikan koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat yang sesungguhnya: gotong royong yang nyata, bukan sekadar formalitas dalam pidato tahunan. (acank)