Scroll untuk baca artikel
BeritaEdukasi

Ketika Sunnah Disalahpahami: Poligami tanpa Ruh Keadilan

79
×

Ketika Sunnah Disalahpahami: Poligami tanpa Ruh Keadilan

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

 فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً … ۝٣

 “Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”(Surat An-Nisa:3)

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah maraknya praktik poligami di berbagai kalangan muslim, kita menyaksikan fenomena yang paradoksal. Di satu sisi, poligami kerap dijadikan sebagai simbol kebanggaan: bukti kemampuan ekonomi, kedewasaan, bahkan seolah-olah tanda ketaatan kepada sunnah Rasulullah. Di sisi lain, tidak sedikit praktik poligami justru melahirkan ketidakadilan, mematahkan hati, dan merusak harmoni rumah tangga.

Di sinilah persoalannya: ketika sunnah dijalankan tanpa memahami ruh yang melandasinya—keadilan.

Sebagian orang berpegang pada dalih bahwa Nabi Muhammad saw. berpoligami, maka mereka pun merasa berhak melakukannya. Padahal, konteks poligami Nabi penuh pertimbangan kemanusiaan, perlindungan, dan misi sosial. Pernikahan beliau dengan beberapa perempuan, selain Khadijah, hampir semuanya terjadi setelah beliau menjadi kepala negara, dengan alasan memperkuat aliansi, melindungi janda, atau merawat keluarga para sahabat yang gugur. Tidak ada satu pun yang didorong semata-mata oleh hawa nafsu.

Sayangnya, banyak orang membaca sunnah hanya di permukaan: meniru jumlah istri Nabi, tetapi mengabaikan teladan beliau dalam keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab. Dalam Surat An-Nisa ayat 3, Allah jelas memberi syarat: “jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu.” Ini bukan hanya syarat administratif, tetapi peringatan serius bahwa ketidakadilan dalam rumah tangga adalah kezaliman yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Keadilan yang dimaksud pun bukan sekadar memberi nafkah yang setara, tetapi juga perhatian, kasih sayang, dan waktu. Nabi sendiri, ketika membagi waktu di antara para istrinya, pernah berdoa, “Ya Allah, inilah pembagianku terhadap apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencela aku atas apa yang tidak aku miliki,” (HR Abu Dawud). Beliau menyadari, bahkan pada dirinya yang paling mulia, rasa sayang manusiawi itu tidak selalu bisa dibagi rata.

Lebih menyedihkan lagi, ketika poligami di zaman sekarang sering menjadi ajang pamer, bahkan ladang bisnis “praktik sunnah,” dengan sedikit sekali perhatian pada maslahat keluarga dan psikologi anak-anak. Banyak istri pertama yang terluka dan tidak mendapat ruang bicara, sementara anak-anak tumbuh dalam konflik dan kecanggungan.

Padahal, Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan formalitas hukum, tetapi juga menjaga nilai-nilai moral yang membangun peradaban. Nabi Muhammad saw. sendiri menegaskan bahwa orang terbaik adalah yang paling baik kepada keluarganya.

Karena itu, sudah saatnya umat muslim melihat sunnah secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Poligami yang dilakukan tanpa persiapan jiwa, tanpa kematangan emosi, tanpa visi keadilan, hanya akan menjadi bentuk lain dari ketidakadilan yang dilegalkan.

Meneladani sunnah berarti meneladani akhlak Nabi, bukan hanya meniru praktiknya di permukaan. Dan akhlak beliau adalah kasih sayang, keadilan, dan tanggung jawab yang mendalam terhadap keluarga.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى…. ۝٩٠

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberikan bantuan kepada kerabat…” (An-Nahl:90)

Jika kita belum yakin mampu menegakkan keadilan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, maka satu istri sudah lebih dari cukup. Lebih mulia memilih jalan yang aman dari kezaliman, daripada memaksakan sunnah yang salah kaprah, lalu melukai banyak hati. Sunnah sejati bukan sekadar pada jumlah istri, tetapi pada ruh keadilan yang menyertainya.(acank)

 

Example 120x600