ppmindonesia.com-Jakarta – Salah satu kisah paling mendasar dalam Al-Qur’an adalah tentang Adam dan Hawa ketika diperintahkan tinggal di surga, tetapi dilarang mendekati sesuatu yang disebut sajaroh. Larangan itu berbunyi:
وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ٣٥
“Dan Kami berfirman: Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di surga, dan makanlah dari (makanan) yang ada di dalamnya sesukamu, tetapi janganlah kamu dekati sajaroh ini, karena kamu akan termasuk orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah:35)
Sebagian besar orang memahami sajaroh sebagai pohon, seperti yang diterjemahkan dalam banyak tafsir klasik.
Tetapi, jika kita membaca lebih luas dalam Al-Qur’an, makna sajaroh tampaknya jauh lebih kaya dan kompleks. Ia bisa bermakna pertumbuhan, perkembangan, bahkan perumpamaan.
Ketika Adam dan istrinya melanggar larangan itu, pakaian mereka hilang, aurat mereka terbuka:
فَدَلّٰىهُمَا بِغُرُورٍۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْاٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۗ وَنَادٰىهُمَا رَبُّهُمَآ اَلَمْ اَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَاَقُلْ لَّكُمَآ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٢
” Ia (setan) menjerumuskan keduanya dengan tipu daya Maka keduanya merasakan (buah) pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-aurat mereka, dan mulailah mereka menutupi diri dengan daun-daun surga. Dan Tuhan menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku katakan kepadamu bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi kamu?’” (QS. Al-A’raf:22)
Jika hanya pohon biasa, mengapa dampaknya sampai sebegitu besar? Lebih aneh lagi, ketika setan membujuk, ia menyebut pohon itu sebagai “pohon keabadian” dan “kerajaan yang tidak akan binasa”:
فَوَسْوَسَ اِلَيْهِ الشَّيْطٰنُ قَالَ يٰٓاٰدَمُ هَلْ اَدُلُّكَ عَلٰى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلٰى ١٢٠
“Maka setan membisikkan kepadanya: ‘Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (QS. Thaha:120)
Profesor Muhammad Asad dalam tafsir The Message of the Qur’an menulis, “Kata sajaroh di sini lebih tepat dipahami sebagai simbol keinginan manusia untuk kekuasaan, keabadian, atau sifat tamak yang tidak terbatas. Ia merupakan representasi dari ujian spiritual, bukan sekadar buah dari pohon fisik.”
Tafsir semacam ini juga selaras dengan QS. Ibrahim:24–25, ketika Allah berfirman:
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ ٢٤تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢ بِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ٢٥
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti sajaroh tayyibah (pohon yang baik), akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit. Ia memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya.”
Dalam ayat ini, jelas bahwa sajaroh adalah perumpamaan bagi kalimat yang baik—yang tumbuh, kokoh, dan memberi manfaat. Sebaliknya, dalam QS. Ibrahim:26, Allah menyebut “sajaroh yang buruk” sebagai sesuatu yang tercabut dari permukaan bumi dan tidak punya pegangan.
Bahkan, Al-Qur’an juga menyebut “sajaroh mal’unah” (pohon terkutuk) dalam QS. Al-Isra’:60:
…وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِۗ وَنُخَوِّفُهُمْۙ فَمَا يَزِيْدُهُمْ اِلَّا طُغْيَانًا كَبِيْرًاࣖ ٦٠
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu itu melainkan sebagai cobaan bagi manusia, demikian pula pohon yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Kami menakut-nakuti mereka, tetapi itu hanya menambah besar kedurhakaan mereka.”
Mufasir modern seperti Fazlur Rahman menyebut bahwa sajaroh mal’unah adalah simbol dari pertumbuhan kejahatan, kemunafikan, dan fitnah yang merusak tatanan.
Dalam kisah Nabi Yunus pun Allah berfirman:
“Lalu Kami tumbuhkan untuknya sebuah sajaroh dari jenis labu.” (QS. Ash-Shaffat:146)
Padahal kita tahu, labu adalah tanaman merambat yang tumbuh rendah, bukan “pohon” dalam pengertian batang yang menjulang.
Semua ini menunjukkan bahwa makna sajaroh dalam Al-Qur’an tidak selalu literal. Dalam banyak ayat, ia tampil sebagai perumpamaan, sebuah simbol tentang pertumbuhan—entah itu kebaikan atau keburukan, bergantung kepada konteks.
Maka, kisah Adam dan sajaroh bukanlah dongeng tentang sebatang pohon dan buah terlarang, melainkan sebuah pelajaran mendalam: tentang batas keinginan, tentang perlawanan terhadap bisikan setan, tentang terbukanya tabir kesadaran manusia, dan tentang pentingnya menjaga “pakaian takwa” yang Allah turunkan kepada kita (QS. Al-A’raf:26).
Sebagaimana ditegaskan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar:
“Sajaroh itu adalah lambang ujian yang harus dihadapi manusia. Karena hidup tanpa ujian adalah mustahil. Dan ujian itu bukan pada pohonnya, tetapi pada nafsu manusia terhadap sesuatu yang dilarang.”
Hari ini, kita pun dihadapkan pada “sajaroh-sajaroh” yang beraneka rupa: kekuasaan, keserakahan, hawa nafsu yang tak terkendali, yang semuanya dapat merenggut “pakaian takwa” jika kita lengah.
Karenanya, marilah kita renungkan pesan Al-Qur’an:
يَا بَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ ٢٦
“Wahai Bani Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan sebagai perhiasan. Tetapi pakaian takwa, itulah yang terbaik. Itu termasuk tanda-tanda (kekuasaan) Allah, agar mereka ingat.” (QS. Al-A’raf:26)
Jangan sampai kita mengulang tragedi Adam—dimenangkan oleh bisikan setan, dan kehilangan pakaian takwa kita sendiri.(acank)