Scroll untuk baca artikel
BeritaPolitik

Ilmu Politik dari Bayi Menangis sampai Presiden Berkuasa

92
×

Ilmu Politik dari Bayi Menangis sampai Presiden Berkuasa

Share this article

Penulis: acank | Editor: asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – Sejak kita lahir, tanpa disadari kita sudah mempraktikkan politik. Seorang bayi yang menangis untuk mendapatkan perhatian, seorang anak yang merengek minta jajan, remaja yang berunding dengan orang tua soal jam pulang malam, hingga orang dewasa yang memilih calon pemimpin—semuanya adalah bagian dari seni memengaruhi, bernegosiasi, dan mengatur hubungan kekuasaan.

Inilah sebabnya mengapa ilmu politik sebenarnya bukan hanya untuk para politisi, birokrat, atau akademisi. Politik adalah bagian dari hidup setiap manusia, dari sejak tangisan pertama di dunia hingga ketika memilih siapa yang berhak memimpin sebuah negara.

Aristoteles pernah menyebut manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang berpolitik. Ia menulis:

“Man is by nature a political animal.”

Manusia, secara kodrat, adalah makhluk politik.

Politik hadir di semua ruang hidup kita: keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, bahkan di dunia maya. Politik menentukan siapa yang berkuasa, siapa yang tunduk, siapa yang mendapat lebih banyak, dan siapa yang terpinggirkan.

Sayangnya, banyak orang memandang politik hanya sebatas perebutan kursi, baliho kampanye, atau bagi-bagi sembako menjelang pemilu. Padahal, esensi politik jauh lebih dalam: ia menyangkut relasi kekuasaan yang terjadi di mana saja.

Bayi menangis karena tahu bahwa tangisan adalah cara untuk mendapatkan perhatian. Dalam skala lebih besar, rakyat turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Presiden berpidato untuk mendapatkan dukungan rakyat dan mengonsolidasikan kekuasaannya. Semua itu adalah politik, hanya dalam level yang berbeda.

Lord Acton pernah memperingatkan:

 “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Kekuasaan cenderung menyimpang, dan kekuasaan yang mutlak pasti menyimpang sepenuhnya.

Itulah sebabnya ilmu politik tidak hanya mengajarkan cara meraih kekuasaan, tetapi juga cara mengawasi dan membatasi kekuasaan agar tidak digunakan sewenang-wenang.

Di era modern, ilmu politik juga mengajarkan kita untuk membaca fenomena sosial dengan lebih cermat. Mengapa ada ketidakadilan? Mengapa sebagian orang terus-menerus diuntungkan sementara sebagian lain selalu dirugikan? Mengapa kebijakan publik sering tidak berpihak pada rakyat?

Abraham Lincoln pernah berkata:

 “The ballot is stronger than the bullet.”

Suara rakyat di bilik suara lebih kuat daripada peluru.

Namun suara itu hanya berarti jika rakyat tahu cara menggunakannya dengan bijak. Dan untuk itu, kita harus memahami politik sebagai sebuah ilmu, bukan hanya sebagai arena perebutan kekuasaan yang kotor.

Belajar politik berarti belajar tentang diri sendiri dan masyarakat. Mengapa kita patuh pada aturan? Bagaimana kita menyuarakan aspirasi? Bagaimana kita memastikan pemimpin kita bekerja untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri?

Bayi menangis untuk mendapatkan haknya. Tapi seiring bertambahnya usia, kita tak bisa lagi hanya menangis untuk diperhatikan. Kita harus belajar, berpikir, bersuara, dan berpartisipasi aktif dalam menentukan arah politik.

Presiden berkuasa bukan karena ia sekadar menginginkannya, tetapi karena rakyat—secara sadar atau tidak—memberinya mandat. Dan mandat itu hanya bisa dijaga jika rakyat memahami politik lebih dalam, tidak hanya saat pemilu, tetapi juga setelahnya.

Karena itu, jangan pernah melihat politik sebagai sesuatu yang asing, apalagi kotor. Politik adalah kita. Sejak bayi menangis hingga presiden berkuasa, politik selalu menentukan siapa yang mendapat apa, kapan, dan bagaimana.

Dan tugas kita sebagai warga adalah memastikan bahwa proses itu berjalan adil, jujur, dan untuk kebaikan bersama.(acank)

Example 120x600