ppmindonesia.com.Jakarta – Banyak dari kita sering berkata, “Saya tidak suka politik.” Atau, “Politik itu kotor, biar saja yang main orang-orang itu.” Ungkapan seperti ini terdengar biasa, tetapi menyiratkan sebuah kesalahpahaman yang berbahaya: bahwa kita bisa melepaskan diri dari politik.
Padahal, politik tak pernah netral. Ia selalu ada di sekitar kita, memengaruhi hidup kita—disadari atau tidak. Dari harga bahan pokok yang naik turun, ketersediaan lapangan pekerjaan, kualitas sekolah dan rumah sakit, hingga keamanan lingkungan tempat tinggal kita—semua adalah hasil keputusan politik.
Sementara kita memilih diam, orang lain memutuskan untuk berbicara dan menentukan arah. Dan sering kali, mereka yang berbicara bukanlah orang-orang yang memikirkan kepentingan kita.
Plato pernah mengingatkan:
“The price good men pay for indifference to public affairs is to be ruled by evil men.”
Harga yang harus dibayar orang baik karena acuh terhadap urusan publik adalah diperintah oleh orang-orang jahat.
Diam dan apatis bukanlah pilihan yang netral. Ia justru memberi ruang kepada mereka yang hanya peduli pada kekuasaan, bukan pada rakyat.
Politik memang sering tampak sebagai pertarungan elite: siapa yang mendapat kursi, siapa yang membagi proyek, siapa yang paling keras berteriak di parlemen. Tapi hakikat politik jauh lebih luas. Ia adalah cara kita mengatur hidup bersama, cara kita memperjuangkan keadilan, cara kita melindungi hak-hak warga negara dari disalahgunakan oleh kekuasaan.
Lord Acton bahkan pernah mengingatkan:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Kekuasaan cenderung menyimpang, dan kekuasaan yang absolut pasti menyimpang mutlak.
Karena itu, pengawasan publik dan keterlibatan warga adalah keharusan. Politik yang tidak diawasi oleh rakyat akan melahirkan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Di era teknologi, politik semakin tidak terlihat tetapi lebih memengaruhi kita daripada sebelumnya. Algoritma media sosial mengarahkan opini kita, big data mencatat perilaku kita, kampanye digital memanipulasi perasaan kita. Kita mungkin merasa memilih secara bebas, padahal sudah diarahkan secara halus oleh strategi politik berbasis data.
Abraham Lincoln pernah menyatakan dengan lugas:
“The ballot is stronger than the bullet.”
Suara kita di bilik suara lebih kuat daripada peluru.
Namun suara itu hanya berarti jika kita tahu apa yang kita perjuangkan. Jika kita paham siapa yang mengatur hidup kita, bagaimana mereka melakukannya, dan untuk siapa mereka bekerja.
Maka, sudah waktunya kita berhenti menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor lalu ditinggalkan. Justru dengan meninggalkannya, kita menyerahkan masa depan kita kepada orang-orang yang mungkin tidak peduli pada kita.
Politik tak pernah netral, dan ia selalu bekerja—entah kita peduli atau tidak. Pertanyaannya: apakah kita rela diatur sembarangan oleh orang yang salah? Atau kita memilih untuk ikut terlibat, mengawasi, dan memastikan bahwa politik tetap berpihak pada rakyat?
Kita mungkin tidak bisa mengendalikan semua keputusan, tetapi kita bisa memastikan suara kita terdengar. Karena diam hanya berarti satu hal: menyerahkan hidup kita pada mereka yang paling keras, bukan pada mereka yang paling benar. (acank)