“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”
ppmindonesia.com.Bogor – Demikian kalimat pertama dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 — sebuah ikrar luhur yang menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil perjuangan manusia, melainkan juga anugerah dari Allah.
Namun, apakah kita sungguh-sungguh masih berjalan dalam naungan rahmat itu? Apakah bangsa ini masih setia pada nilai ilahi yang dulu menjadi fondasi kemerdekaannya?
Ketika rahmat hanya menjadi kutipan tanpa penghayatan, ketika perjuangan tidak lagi mengindahkan kejujuran dan keadilan, maka sejatinya kita sedang meninggalkan rahmat itu.
Rahmat dalam Konstitusi, Tapi Tidak dalam Kebijakan
Pernyataan konstitusi bahwa kemerdekaan adalah “berkat rahmat Allah” bukan sekadar kalimat seremonial. Ia adalah taqrir, pengakuan sakral bahwa arah perjuangan bangsa haruslah sejalan dengan nilai-nilai Tuhan: keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan keberpihakan pada yang lemah.
Namun yang terlihat di lapangan adalah sebaliknya. Kebijakan kerap dibuat dengan mengabaikan nurani dan kepentingan rakyat. Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Layanan publik dipenuhi birokrasi yang kering empati. Kekuasaan menjadi ruang transaksi, bukan amanah.
Buya Syafii Maarif dengan tajam menyatakan:
“Bangsa ini terlalu banyak berbicara tentang Tuhan, tapi sedikit sekali yang menampakkan Tuhan dalam perilaku.”
Itulah realitas kita: rahmat Allah dijadikan proklamasi, tapi tak dijadikan pedoman.
Al-Qur’an: Rahmat Harus Dihayati dalam Aksi
Allah Swt. mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ٩٦
“Dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96)
Ayat ini menegaskan bahwa rahmat Tuhan bukan datang dari simbol dan klaim, tetapi dari ketundukan sejati pada nilai kebenaran dan keadilan. Jika bangsa ini sungguh-sungguh beriman, maka rahmat akan terus mengalir. Tetapi jika kezaliman dibiarkan, rahmat itu akan pergi.
Di sinilah kritik Al-Qur’an terhadap arah perjuangan bangsa: terlalu banyak simbol agama, tapi minim implementasi. Terlalu bangga dengan sejarah perjuangan, tapi lupa menjaga kemurnian cita-cita.
Munafik: Ketika Rahmat Diucapkan Tapi Tidak Dihidupkan
Allah Swt. menggambarkan golongan munafik dalam QS Al-Baqarah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ ٨يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ ٩
“Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian’, padahal mereka sesungguhnya bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri dan mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah [2]: 8–9)
Bangsa ini bisa saja menyebut nama Allah di pembukaan konstitusi, bahkan di podium-podium pidato dan undang-undang. Tapi jika sistem sosial, ekonomi, dan politiknya dibangun tanpa mengindahkan nilai ilahi — maka itu adalah bentuk kemunafikan struktural.
Rahmat Allah tidak bisa dipelihara dengan kemunafikan. Ia hanya hadir dalam kejujuran kolektif dan kesungguhan untuk mengabdi kepada nilai kebenaran.
Dari Rahmat ke Rezim Transaksional
Arah perjuangan bangsa hari ini cenderung kehilangan jiwanya. Banyak program pembangunan dibuat demi pencitraan. Banyak regulasi lahir dari lobi, bukan nurani. Banyak janji politik dibuat untuk diputarbalikkan. Akhirnya, politik kehilangan misi moral, dan negara kehilangan arah perjuangan ilahiah.
Seperti yang dikatakan KH. Husein Muhammad:
“Ketika agama tidak lagi memengaruhi cara berpikir dan bertindak pemimpin bangsa, maka agama telah digantikan oleh pragmatisme.”
Dan saat itulah, rahmat telah kita tinggalkan — bukan karena dicabut oleh Tuhan, tetapi karena kita sendiri yang menyingkirkannya demi kenyamanan dan kekuasaan.
Waktunya Kembali pada Rahmat yang Dinyatakan
Rahmat Allah bukan sekadar kata dalam konstitusi. Ia harus menjadi napas dalam setiap arah perjuangan bangsa: dalam kebijakan publik, dalam cara pemimpin mendengarkan rakyat, dalam cara hukum ditegakkan, dan dalam cara sumber daya alam dimanfaatkan.
…اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ … ١١
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)
Bangsa ini hanya akan benar-benar merdeka jika ia kembali menjadikan rahmat Allah sebagai nilai penggerak, bukan sekadar penghias dokumen.
Karena tanpa rahmat itu, perjuangan kehilangan arah, dan kebebasan berubah menjadi kehampaan. (husni fahro)
* Husni Fahro, seorang pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an asal Bogor.
Alumni IAIN Sumatera Utara ini dikenal dengan gagasannya tentang Nasionalisme Religius
dan kepeduliannya pada isu-isu solidaritas sosial.”