Scroll untuk baca artikel
BeritaOpini

Fikih yang Dinamis, Agama yang Luwes: Jangan Bekukan Islam

78
×

Fikih yang Dinamis, Agama yang Luwes: Jangan Bekukan Islam

Share this article

Penulis; emha| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Islam adalah agama yang membawa nilai-nilai abadi, tetapi juga memberi ruang untuk perkembangan zaman. Nilai-nilai pokok seperti tauhid, keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan adalah prinsip yang tidak berubah. Namun, cara menerapkannya di tengah kehidupan manusia yang selalu bergerak — itulah yang membutuhkan fikih yang dinamis dan agama yang luwes.

Sayangnya, sebagian dari kita kadang memperlakukan Islam seperti patung yang kaku dan beku. Seolah-olah hukum Islam tidak pernah bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Padahal Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang suka mempersulit, tetapi sebagai pembawa rahmat dan kemudahan.” (HR. Muslim)

Fikih sendiri adalah hasil ijtihad — upaya manusia untuk memahami teks wahyu dan mengaplikasikannya dalam konteks sosial tertentu. Karena itu, sifatnya bisa berubah sesuai situasi, tempat, dan maslahat.

Imam Syafi’i, misalnya, memiliki dua fase pemikiran: qaul qadim (pendapat lama) ketika di Irak, dan qaul jadid (pendapat baru) ketika pindah ke Mesir. Mengapa? Karena beliau melihat kondisi sosial dan budaya masyarakat di kedua tempat itu berbeda.

Beliau pernah berkata dengan rendah hati:

“Pendapatku benar, namun mungkin salah. Pendapat orang lain salah, namun mungkin benar.”

Sikap seperti inilah yang hilang dari sebagian kita hari ini. Kita mudah menganggap satu pandangan fikih sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, lalu menyalahkan siapa pun yang berbeda.

Padahal Al-Qur’an sendiri memberi isyarat tentang keluwesan agama ini:

 …يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ…۝١٨٥

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Lihatlah, dulu di masa awal Islam, unta dan kuda adalah alat transportasi utama. Sekarang berganti dengan mobil, kereta, pesawat. Dulu transaksi jual beli dilakukan dengan dirham dan dinar. Sekarang sudah digital. Dulu perbankan belum ada, sekarang menjadi tulang punggung ekonomi global.

Jika kita membekukan fikih, lalu melabeli semua hal baru sebagai bid’ah atau haram tanpa memahami maqashid syariah (tujuan syariat), kita justru menjadikan Islam tampak kuno, memberatkan, bahkan tidak relevan.

Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyyat menulis:

“Islam datang untuk menjaga maslahat manusia, bukan untuk mempersulit mereka. Apa yang membawa maslahat bagi mereka, itulah syariat.”

Fikih yang dinamis tidak berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan, tetapi mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap memegang nilai-nilai dasar Islam. Di sinilah pentingnya ulama yang memahami realitas, bukan sekadar menghafal teks.

Kita perlu belajar dari prinsip Rasulullah ﷺ yang bersabda:

“Permudahlah, jangan dipersulit. Berilah kabar gembira, jangan buat orang lari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam itu mudah, fleksibel, dan penuh rahmat. Jangan kita jadikan agama ini seperti beban yang menakutkan, atau seperti tembok yang menghalangi kemajuan.

Al-Qur’an pun mengingatkan:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ… ۝١٤٣

“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang moderat, agar kamu menjadi saksi atas manusia…” (QS. Al-Baqarah: 143)

Moderasi, keseimbangan, dan keluwesan adalah ciri Islam yang sejati. Jangan sampai cara kita beragama justru menjauhkan orang dari Islam, hanya karena kita memaksakan sesuatu yang sebenarnya bisa dirundingkan dan disesuaikan.

Mari kita rawat nilai-nilai abadi Islam sambil membuka ruang bagi pembaharuan dalam perkara-perkara yang memang bisa berubah. Jangan bekukan Islam. Sebab Islam bukanlah museum yang hanya untuk dikenang, tetapi petunjuk hidup yang selalu relevan sepanjang zaman.(emha)

Example 120x600