Scroll untuk baca artikel
BeritaSejarah

Blitar: Dari Alas Angker ke Kota Perjuangan

54
×

Blitar: Dari Alas Angker ke Kota Perjuangan

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Bagi banyak orang, nama Blitar mungkin langsung mengingatkan pada makam Sang Proklamator, Ir. Soekarno, yang bersemayam di kota ini. Blitar dikenal sebagai kota sejarah, kota pejuang, kota pendidikan. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa tanah Blitar dulunya hanyalah hutan angker nan lebat—penuh harimau, ular berbisa, dan kekuatan tak kasat mata. Di balik wajah modernnya hari ini, Blitar menyimpan kisah heroik tentang keberanian menaklukkan alam dan menegakkan peradaban.

Misi Rahasia dari Raden Wijaya

Cerita bermula dari masa awal berdirinya Kerajaan Majapahit. Setelah mengusir pasukan Tartar (Mongol) dari tanah Jawa, Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit, menghadapi satu masalah besar: wilayah selatan Sungai Brantas dianggap rawan, karena bisa menjadi tempat persembunyian musuh yang tersisa. Maka, ia mengutus seorang prajurit kepercayaannya, Nila Suwarna, untuk membuka dan mengamankan wilayah tersebut.

Misi ini tak sekadar ekspedisi militer, tetapi juga perjuangan membabat hutan lebat yang diyakini angker oleh warga setempat. Di sanalah awal mula perjalanan pembentukan Blitar sebagai wilayah berpenghuni dimulai.

Babat Alas, Bukan Perkara Gampang

Dengan peralatan seadanya dan semangat baja, Nila Suwarna bersama rombongannya mulai menebas rimba. Mereka harus bertahan hidup dari serangan binatang buas, nyamuk hutan, hingga kemungkinan serangan musuh. Beberapa gugur, beberapa hilang ditelan rimba. Namun semangat mereka tak padam.

Tak hanya membuka jalan, mereka juga membentuk pola pemukiman, membuat jalur air, dan terus memantau kemungkinan keberadaan sisa pasukan Tartar. Dalam catatan sejarah lokal, ekspedisi ini berhasil menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi dan mengamankan wilayah.

Atas keberhasilannya, Nila Suwarna diangkat sebagai Adipati Ariyo Blitar I, dan wilayah tersebut dinamakan Balitar—yang berarti ‘mengusir kembali Tartar’. Inilah cikal bakal nama Blitar yang kita kenal hari ini.

Dari Kepemimpinan ke Konflik Berdarah

Nila Suwarna (Ariyo Blitar I) menikahi Dewi Rayung Wulan dan memiliki anak bernama Djoko Kandung. Namun sejarah mencatat, masa tenang itu tak berlangsung lama. Ki Sengguruh, patih kadipaten, melakukan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan. Ariyo Blitar I gugur dalam pertempuran, dan Sengguruh naik takhta sebagai Ariyo Blitar II.

Namun Djoko Kandung tak tinggal diam. Ia melakukan perlawanan, menumbangkan Ariyo Blitar II, dan diakui sebagai Ariyo Blitar III. Meski demikian, Djoko Kandung memilih tak mengambil gelar resmi, meskipun ia memimpin rakyat Blitar.

Berakhirnya Kadipaten dan Awal Masa Kolonial

Blitar sebagai kadipaten akhirnya kehilangan kedaulatan pada tahun 1723. Di bawah kekuasaan Raja Amangkurat dari Kartasura Hadiningrat, Blitar diserahkan kepada Belanda sebagai hadiah atas bantuan mereka dalam perang saudara. Sejak saat itu, Blitar menjadi wilayah administratif di bawah Hindia Belanda.

Namun semangat rakyat tak pernah padam. Berbagai bentuk perlawanan muncul, hingga akhirnya pada 1 April 1906, Belanda menetapkan Blitar sebagai Gemeente (kotapraja) melalui Staatsblad Hindia Belanda No. 150. Inilah tonggak kelahiran resmi Kota Blitar sebagai wilayah modern.

Pemberontakan PETA: Nyala Api Terakhir sebelum Merdeka

Masa penjajahan Jepang membawa penderitaan baru. Namun, dari Blitar pula muncul bara perlawanan paling besar terhadap Jepang, yaitu Pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Soeprijadi. Meski berlangsung singkat dan sebagian besar pasukan ditangkap, aksi ini menjadi bukti bahwa semangat perjuangan tak pernah padam di tanah Blitar.

Konon, menjelang pemberontakan, Soeprijadi sempat berdiskusi dengan Soekarno yang sedang berada di Ndalem Gebang, kediamannya di Blitar. Bung Karno tak menyatakan dukungan terbuka, namun semangat perjuangan sudah membara. Dari pemberontakan inilah, Sang Merah Putih pertama kali berkibar secara terbuka di bumi Blitar.

Blitar Hari Ini: Kota yang Tumbuh dari Keberanian

Rakyat Blitar menyambut Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan sukacita. Tak lama kemudian, status administratif kota diperkuat melalui UU Nomor 22 Tahun 1945 yang mengubah nama “Blitar Shi” menjadi Kota Blitar, bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kini, Blitar dikenal sebagai kota kecil dengan jiwa besar—berakar dari semangat pantang menyerah, lahir dari hutan angker, ditempa pertempuran, dan tumbuh menjadi kota pendidikan, sejarah, dan budaya. Di balik tenangnya suasana Kota Blitar hari ini, tersimpan jejak langkah para pemberani yang tak gentar menantang maut demi membangun tanah harapan.(acank)

Catatan Redaksi:

Artikel ini merujuk pada sumber-sumber resmi seperti situs Pemkot Blitar (blitarkota.go.id), serta catatan sejarah yang tercantum dalam Babad Blitar dan dokumen-dokumen kolonial.

 

Example 120x600