ppmindonesia.com.Jakarta – Fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) menjadi cermin baru dari realitas kelas menengah Indonesia. Mereka datang ke pusat perbelanjaan, berkumpul, berswafoto, namun tak satu pun barang dibeli. Mereka hadir secara fisik, tapi kosong secara daya beli.
Di balik istilah yang terdengar jenaka itu, tersembunyi kegelisahan sosial dan ekonomi yang serius. Kelas menengah yang selama ini disebut sebagai tulang punggung konsumsi nasional, kini menunjukkan tanda-tanda kelelahan struktural. Mereka masih berusaha terlihat sejahtera, namun semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar tanpa utang, cicilan, atau pinjaman daring.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menilai fenomena ini sebagai akibat dari daya beli masyarakat yang melemah. “Penurunan tingkat tabungan, turunnya penjualan ritel, dan membengkaknya pinjaman fintech adalah sinyal bahwa masyarakat, terutama kelas menengah, sedang tertekan secara finansial,” katanya, Jumat (26/7).
Senada, Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menambahkan bahwa meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri memperparah kondisi. “Di saat harga-harga bahan pokok naik, lapangan kerja justru menyusut. Masyarakat tidak berhenti ingin berbelanja, tapi mereka tidak mampu,” ujarnya.
Simbol Ketimpangan yang Terlihat Lucu
Rojali dan Rohana hanyalah istilah, namun di balik kelucuannya tersimpan potret ketimpangan sosial-ekonomi yang mengkhawatirkan. Mereka menjadi simbol kelas menengah yang rapuh: terlihat konsumtif, namun sebenarnya defisit.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang kita banggakan selama ini belum sepenuhnya berkeadilan. Konsumsi tetap menjadi andalan penggerak PDB, tetapi tidak dibarengi dengan pemerataan pendapatan, perlindungan kerja, dan kepastian penghidupan.
Kelas menengah kita adalah generasi yang terus berusaha bertahan di tengah tekanan hidup yang semakin tinggi. Mereka ingin menyekolahkan anak lebih baik, menabung untuk masa depan, sekaligus menjaga martabat sosial di tengah budaya konsumsi yang makin menekan.
Namun tanpa sistem ekonomi yang adil, upaya mereka kerap berujung pada jeratan utang. Gaji tetap, harga naik, lapangan kerja stagnan—sementara tekanan sosial untuk tampil “sukses” tidak berkurang. Inilah wajah ekonomi yang kehilangan jiwa keadilannya.
Menyoal Keberpihakan Pembangunan
Fenomena ini tidak terjadi begitu saja. Akar masalahnya ada pada strategi pembangunan yang lebih banyak menekankan pertumbuhan makro tanpa memperhatikan keberpihakan struktural. Pemerintah terlalu sibuk menggenjot konsumsi, sementara sektor produksi justru tertinggal. Investasi banyak menyasar infrastruktur fisik, tapi belum cukup menyentuh kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan murah, pendidikan berkualitas, dan lapangan kerja yang layak.
Dalam konteks ini, ekonomi keadilan bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan. Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan antara konsumsi dan produksi, antara hak individu dan tanggung jawab sosial, antara pertumbuhan dan pemerataan.
“Allah telah menjadikan sebagian kamu lebih unggul dalam rezeki daripada yang lain. Maka orang-orang yang dilebihkan itu tidak mau memberikan rezekinya kepada orang-orang yang mereka miliki (bawahannya), agar mereka setara…” (QS An-Nahl: 71). Ayat ini menjadi peringatan tentang keengganan sebagian orang berbagi dalam sistem ekonomi yang adil dan seimbang.
Ketika pemerintah hanya fokus pada angka pertumbuhan tanpa memikirkan siapa yang tumbuh dan siapa yang tertinggal, maka yang lahir adalah ketimpangan. Dan Rojali-Rohana adalah gejala sosial dari ketimpangan itu.
Menuju Ekonomi yang Lebih Berkah
Solusi atas fenomena ini bukan hanya soal menambah subsidi atau memberi bantuan sosial sesaat. Yang dibutuhkan adalah transformasi ekonomi yang berakar pada prinsip keberkahan dan keadilan: penguatan produksi dalam negeri, pemberdayaan UMKM, pemerataan akses pendidikan dan kesehatan, serta perlindungan atas hak-hak pekerja.
Pemerintah juga perlu menata ulang prioritasnya: tidak cukup hanya mendorong orang untuk belanja, tapi harus menciptakan ekosistem di mana rakyat bisa bekerja, berusaha, dan hidup dengan bermartabat.
Ekonomi yang berkah adalah ekonomi yang tidak membuat rakyat stres, bekerja keras tanpa hasil, atau terjebak dalam utang konsumtif demi gaya hidup semu. Ekonomi yang berkah adalah yang memberi ruang tumbuh secara adil, produktif, dan saling menguatkan.
Rojali dan Rohana bukan sekadar lelucon
Rojali dan Rohana bukan sekadar lelucon urban. Mereka adalah tanda zaman. Ketika pusat belanja menjadi ruang pelarian, bukan tempat perputaran rezeki, maka kita perlu bertanya: sudahkah pembangunan ini berpihak pada manusia?
Sudah saatnya kita mengevaluasi arah ekonomi bangsa: dari yang semata mengejar pertumbuhan, menjadi yang mengejar keberkahan dan keadilan. Karena tanpa keadilan, pertumbuhan hanya akan menciptakan lapisan-lapisan rapuh yang mudah retak—dan kelas menengah kita kini berada tepat di tepinya.(acank)