Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Pembayaran Dam Haji di Tanah Air: Inovasi Syariat, Peluang Ekonomi Umat

53
×

Pembayaran Dam Haji di Tanah Air: Inovasi Syariat, Peluang Ekonomi Umat

Share this article

Penulis: emha| Editor; asyary|

ppmindonesia.com. Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana memfasilitasi pembayaran dam (denda) ibadah haji di dalam negeri mulai tahun 2026. Kebijakan ini bertujuan memudahkan jamaah sekaligus menciptakan sistem yang lebih tertib, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan ibadah haji.

Namun, rencana ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat Muslim Indonesia, terutama terkait kesahihan hukum syar’i dari pelaksanaan penyembelihan hewan dam di luar Tanah Haram.

Selama ini, pembayaran dam—khususnya untuk jamaah haji tamattu’ dan qiran—dilakukan dengan menyembelih kambing di Tanah Haram, yakni Mekkah dan sekitarnya. Ketentuan ini ditegaskan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 41 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa “penyembelihan hewan dam atas haji tamattu’ atau qiran dilakukan di Tanah Haram. Jika dilakukan di luar Tanah Haram hukumnya tidak sah.”

Namun kini, seiring dengan desakan efisiensi dan tantangan logistik yang semakin berat, Pemerintah Indonesia dan Malaysia secara aktif membahas opsi penyembelihan dam di negara asal jamaah. Dukungan juga datang dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, yang mengakui beban besar dalam mengelola ratusan ribu penyembelihan selama musim haji.

Diskusi Ulama dan Aktivis: Antara Fikih dan Kemandirian Ekonomi

Dalam forum diskusi rutin Reboan Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional yang digelar secara daring pada 30 Juli 2025, Eko Suryono, Presidium Pusat PPM Nasional, menyatakan bahwa jika MUI dan Pemerintah Indonesia mencabut larangan pembayaran dam haji dilakukan di dalam negeri, maka dampak positifnya bukan hanya dari sisi kemudahan syariat, tetapi juga kemanfaatan ekonomi yang luas bagi masyarakat.

“Bayangkan, kalau 220.000 ekor kambing bisa disediakan dari dalam negeri, sektor peternakan lokal akan hidup. Ini akan menjadi perputaran ekonomi umat. Dan lebih penting lagi, daging hasil dam bisa didistribusikan kepada rakyat Indonesia yang membutuhkan,” ujarnya.

Eko juga menekankan bahwa praktik pelaksanaan dam di Tanah Suci Makkah tak jarang diwarnai manipulasi dan ketidakjelasan, baik dari sisi jumlah hewan yang benar-benar disembelih maupun pemanfaatan dagingnya.

Pupun Purwana, Anggota Presidium PPM Nasional, sependapat dengan Eko. Ia menyoroti ketidakterbukaan informasi dan kerawanan manipulasi dalam pelaksanaan dam di luar pengawasan jamaah.

“Ini bukan rahasia umum. Kadang kita tak tahu betul, apakah kambingnya benar-benar disembelih? Apakah harganya sesuai? Kalau dam dilakukan di sini (Indonesia), semua bisa kita awasi,” tambah Pupun.

Lebih jauh, Eko Suryono melihat peluang partisipasi masyarakat sipil melalui jaringan aktivis Pusat Peranserta Masyarakat Daerah yang bisa dilibatkan dalam penyediaan hewan kurban untuk dam.

“Aktivis PPM daerah bisa berperan dalam membina peternak, memastikan ketersediaan kambing, bahkan ikut dalam distribusi dan pengawasan penyembelihan. Ini bukan hanya soal ibadah, ini momentum membangun ekonomi rakyat berbasis syariat,” tegasnya.

Perspektif Regional dan Politik Keagamaan

Dukungan Malaysia atas inisiatif Indonesia juga menjadi penanda adanya pemikiran baru yang lebih inklusif dan fungsional dalam fiqih ibadah haji. Dalam pertemuan antara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Seri Ahmad Zahid Hamidi pada 22 April 2025, kedua negara sepakat untuk mendorong MUI dan otoritas keagamaan Malaysia meninjau kembali ketentuan penyembelihan dam.

“Kalau dilakukan di Indonesia, kambing kita. Dagingnya pun bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kita sendiri,” tegas Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam pernyataannya kepada media.

Menanti Keputusan Ulama: Ruang Ijtihad Terbuka

Meski otoritas Saudi telah menyetujui, dan DPR RI melalui Komisi VIII mulai membahasnya, pelaksanaan dam di dalam negeri tetap menunggu fatwa baru dari MUI. Pemerintah tidak ingin melangkah tanpa dasar hukum fikih yang kuat.

Kepala BP Haji, Mochammad Irfan Yusuf, menyatakan bahwa pemerintah menunggu dengan penuh kehati-hatian.

“Saya jawab ke Menteri Haji Saudi, ‘Belum Yang Mulia, kami masih menunggu izin para ulama.’ Begitu fatwa membolehkan, kita akan laksanakan,” ujarnya.

Sinergi Ibadah -Ekonomi

Rencana pelaksanaan dam haji di Indonesia membuka ruang dialog penting antara fiqih ibadah dan realitas sosial-ekonomi umat. Bila dilaksanakan dengan dasar syariat yang kuat dan manajemen yang baik, inisiatif ini tak hanya menjawab tantangan logistik di Tanah Suci, tetapi juga membangkitkan ekonomi rakyat, mendorong transparansi pelaksanaan ibadah, serta membuka peluang partisipasi masyarakat sipil dalam membangun ekosistem ibadah yang mandiri dan berkeadilan.(emha)

Example 120x600