Scroll untuk baca artikel
BeritaEdukasi

“Simbol, Sejarah, dan Krisis Nasionalisme: Mengapa Anak Muda Lebih Kenal Luffy daripada Tan Malaka?”

51
×

“Simbol, Sejarah, dan Krisis Nasionalisme: Mengapa Anak Muda Lebih Kenal Luffy daripada Tan Malaka?”

Share this article

Penulis; emha| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta — Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kemunculan bendera bajak laut “One Piece” di sejumlah tiang bendera, menggantikan Merah Putih yang semestinya berkibar di bulan kemerdekaan. Tak sedikit yang marah. Namun di balik kecaman, peristiwa ini justru membuka ruang refleksi lebih dalam tentang krisis simbol, sejarah, dan nasionalisme di kalangan generasi muda.

Bagi sebagian anak muda, simbol bajak laut dengan topi jerami bukan sekadar ikon fiksi. Ia adalah lambang perjuangan, solidaritas, dan kebebasan. “Luffy” dan kru Topi Jerami tak hanya menyajikan hiburan, tapi juga menawarkan narasi perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan. Sementara itu, sosok-sosok pahlawan nasional seperti Tan Malaka, Hatta, atau Kartini—dengan kisah nyata perjuangannya—kian jauh dari ruang keseharian anak muda.

Ketimpangan Narasi dan Representasi

Menurut aktivis Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), ketimpangan ini bukan semata kesalahan generasi muda. Sebaliknya, ini menjadi tamparan keras bagi sistem pendidikan dan kebudayaan nasional yang gagal membumikan sejarah sebagai kisah hidup yang relevan dan inspiratif.

“Simbol-simbol kebangsaan tak pernah disosialisasikan secara emosional dan kontekstual. Anak-anak diajak menghafal nama pahlawan, bukan merasakan semangat perjuangannya,” ujar Aktifis  PPM Nasional , Defri Cane Nasution.

Defri Cane menilai, ketika narasi kebangsaan kehilangan daya pikat, generasi muda secara alamiah mencari alternatif yang memberi ruang pada imajinasi, identitas, dan solidaritas baru—dan di era digital, karakter fiksi global sering kali lebih berhasil mengisi kekosongan itu.

Krisis Keteladanan dan Relevansi

Fenomena ini juga berkaitan dengan krisis keteladanan. Anak muda tak menemukan figur nasional yang dianggap bisa mewakili aspirasi zaman mereka. “Kalau tokoh sejarah hanya muncul saat upacara atau ujian, sementara tokoh anime hadir setiap hari dengan cerita yang tumbuh bersama mereka, wajar kalau mereka lebih dekat dengan Luffy ketimbang Tan Malaka,” tambah Defri Cane 

PPM menekankan pentingnya membumikan kembali kisah-kisah perjuangan nasional ke dalam format dan bahasa yang sesuai zaman. Film, serial, komik, dan media sosial harus menjadi medium edukasi, bukan hanya hiburan.

Bendera dan Simbol: Alarm, Bukan Ancaman

Alih-alih semata mempersoalkan pelanggaran atas simbol negara, PPM mengajak publik melihat insiden ini sebagai alarm sosial. “Ini bukan sekadar soal bendera, tapi tentang makna dan keterikatan emosional terhadap simbol kebangsaan,” kata Defri Cane .

Ia menegaskan bahwa menghukum tanpa membimbing hanya akan memperlebar jarak antara negara dan generasi muda. Sebaliknya, dialog, pendidikan partisipatif, dan ruang ekspresi kreatif yang bernuansa lokal harus diperluas.

Menjawab dengan Empati dan Terobosan

PPM mendorong pemerintah, khususnya lembaga pendidikan dan kebudayaan, untuk menjawab fenomena ini dengan empati dan inovasi. Sejarah tak bisa lagi diajarkan sebagai beban hafalan, melainkan sebagai kisah kolektif yang hidup dan bisa membangun jati diri bangsa.

“Tan Malaka harus hadir bukan hanya di buku pelajaran, tapi juga di platform tempat anak muda berada—TikTok, YouTube, dan gim edukatif. Kita perlu terobosan, bukan nostalgia,” pungkas Defri Cane . (emha)

 

Example 120x600