ppmindonesia.com.Jakarta,— Maraknya pengibaran bendera bajak laut Jolly Roger dari serial One Piece menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam daripada sekadar polemik simbol. Fenomena ini menjadi cerminan kuat tentang bagaimana generasi muda kini lebih terhubung dengan tokoh fiktif seperti Monkey D. Luffy ketimbang tokoh-tokoh pahlawan nasional yang telah berjuang demi kemerdekaan bangsa.
Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional melihat fenomena tersebut bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan sebagai sinyal bahwa ada krisis keteladanan dan keterputusan memori sejarah di kalangan anak muda.
“Ini bukan sekadar soal anak-anak muda mengibarkan bendera One Piece. Ini pertanda bahwa banyak di antara mereka lebih mengenal semangat Luffy dibanding semangat perjuangan Cut Nyak Dien, Tan Malaka, atau Bung Tomo,” ujar M. Hasan Asy’ari, Wakil Sekretaris Jenderal PPM Nasional, dalam pernyataan tertulis pekan ini.
Luffy, karakter utama dalam serial manga dan anime One Piece, dikenal karena semangatnya yang pantang menyerah, keberaniannya melawan tirani, serta loyalitasnya terhadap teman-temannya. Nilai-nilai tersebut sejatinya tidak jauh berbeda dengan semangat perjuangan para pahlawan nasional Indonesia. Namun dalam narasi yang dikonsumsi generasi muda hari ini, tokoh-tokoh lokal kian tenggelam di tengah gempuran budaya populer global.
“Kalau siswa SMA atau mahasiswa lebih hafal nama kru Topi Jerami ketimbang pendiri Boedi Oetomo, itu bukan salah mereka sepenuhnya. Ini tanggung jawab kita bersama—sekolah, pemerintah, media, bahkan keluarga—yang belum cukup berhasil membumikan kembali sejarah bangsa dalam bahasa yang dekat dengan dunia anak muda,” kata Hasan.
Kondisi ini menimbulkan ironi tersendiri. Di saat negara mendorong semangat nasionalisme, di lapangan justru anak-anak muda menjadikan simbol bajak laut fiksi sebagai bendera yang mereka banggakan. Beberapa bahkan menyerukan pengibaran bendera Jolly Roger sebagai simbol “kemerdekaan baru”, yang dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan atau kekosongan harapan.
Sementara itu, sebagian tokoh publik merespons fenomena ini dengan nada waspada. Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Danang Wicaksana Sulistya, bahkan meminta tren tersebut dihentikan karena dianggap berpotensi mencederai nilai-nilai nasionalisme.
Namun bagi PPM, respons seperti itu justru berisiko semakin menjauhkan generasi muda dari simbol-simbol kebangsaan. “Kita tidak bisa lagi mendidik anak muda dengan cara-cara menakut-nakuti. Mereka tidak hidup dalam era propaganda masa lalu. Mereka butuh narasi yang menyentuh, masuk akal, dan bisa mereka hidupi,” ujar Hasan.
Ia juga mengingatkan bahwa bukan budaya pop yang salah, tetapi cara kita menyikapinya yang perlu diperbaiki. “Bukan berarti kita harus melawan budaya populer seperti anime. Tapi justru kita harus bisa menjadikan itu sebagai pintu masuk untuk kembali mengajarkan nilai-nilai luhur bangsa. Jangan sampai kita sibuk memarahi anak muda karena benderanya, sementara kita sendiri tak pernah hadir dalam ruang-ruang dialog mereka,” katanya.
Peringatan kemerdekaan, lanjut Hasan, seharusnya bukan sekadar ajang seremoni, tetapi ruang refleksi. Mengapa di usia 80 tahun kemerdekaan, generasi muda lebih percaya pada tokoh fiksi untuk menumbuhkan harapan, bukan pada kisah nyata para pejuang kemerdekaan?
“Ini bukan waktu untuk menghakimi, tapi untuk membenahi. Kita harus akui, literasi sejarah kita lemah. Museum sepi, pelajaran sejarah membosankan, tokoh nasional hanya dihafalkan untuk ujian. Tapi ketika Luffy muncul dengan mimpi besar dan loyalitasnya, anak-anak muda merasa punya panutan,” ujar Hasan.
PPM pun menyerukan agar negara, media, dan masyarakat luas bersama-sama memikirkan ulang cara mengenalkan sejarah dan nilai perjuangan dalam format yang relevan. “Kalau kita ingin Merah Putih tetap dikibarkan dengan kebanggaan, maka jangan hanya mengandalkan simbol. Tanamkan dulu maknanya dengan cara yang mereka pahami,” tutupnya.(emha)