Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Menghidupkan Furqan: Ketika Wahyu Menjadi Alat Ukur Hidup

39
×

Menghidupkan Furqan: Ketika Wahyu Menjadi Alat Ukur Hidup

Share this article

Penulis; emha| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah beragam praktik keagamaan yang semakin ritualistik, umat Islam diingatkan untuk mengembalikan Al-Qur’an ke posisi semestinya: bukan hanya sebagai kitab suci yang dibaca, tetapi sebagai furqan — pembeda antara yang benar dan salah, antara yang hak dan yang batil. 

Hal ini menjadi sorotan utama dalam kajian tematik Al-Qur’an yang disampaikan Husni Nasution dalam program daring Kanal Syahida, awal pekan ini.

Dalam kajiannya, Nasution menekankan bahwa banyak umat Islam saat ini menjalani agama berdasarkan kebiasaan, bukan atas dasar wahyu. Al-Qur’an, yang seharusnya menjadi rujukan utama dalam berislam, justru seringkali dikesampingkan dari posisi strategisnya sebagai sumber nilai dan hukum.

“Furqan bukan sekadar nama lain dari Al-Qur’an, melainkan fungsi sentralnya — sebagai alat ukur. Tanpa furqan, umat tidak mampu membedakan mana ajaran yang bersumber dari Allah dan mana yang hanya produk tradisi atau tafsir yang menyimpang,” jelas Nasution.

Wahyu yang Dilupakan

Kajian tersebut menyoroti sejumlah praktik keagamaan yang menyimpang dari petunjuk wahyu. Misalnya, peringatan yang dilakukan bukan berdasarkan Al-Qur’an, padahal dalam Q.S. Qaf [50]: 45, Allah menegaskan:

…فَذَكِّرْ بِالْقُرْاٰنِ مَنْ يَّخَافُ وَعِيْدِࣖ ۝٤٥

“Maka berilah peringatan dengan Al-Qur’an kepada orang yang takut kepada ancaman-Ku.”

Namun dalam realitasnya, banyak bentuk dakwah dan peringatan justru lebih bertumpu pada cerita-cerita menakutkan, simbol-simbol mistis, atau teks non-Qur’ani yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya secara wahyu.

Contoh lain adalah pelaksanaan shalat yang tidak sesuai dengan bimbingan Al-Qur’an. Dalam Q.S. Al-Isra [17]:110, ada larangan menjaharkan suara dalam shalat secara berlebihan. Namun praktik semacam itu masih sering ditemukan tanpa evaluasi terhadap keabsahannya berdasarkan ayat tersebut.

Ketetapan yang Tidak Bisa Ditawar

Nasution juga mengangkat isu seputar narasi “tawar-menawar” jumlah shalat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj — dari 50 waktu menjadi 5 waktu. Dalam pandangannya, jika narasi tersebut ditimbang menggunakan Al-Qur’an sebagai furqan, maka harus dikaji ulang. Ia mengutip Q.S. Al-Ahzab [33]:38:

مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيْمَا فَرَضَ اللّٰهُ لَهٗۗ سُنَّةَ اللّٰهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ قَدَرًا مَّقْدُوْرًاۙ ۝٣٨

“Tidak ada keberatan bagi Nabi terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Itulah sunnatullah yang berlaku atas orang-orang terdahulu. Dan ketetapan Allah adalah takdir yang pasti.”

Menurut Nasution, ayat ini menegaskan bahwa syariat tidaklah bisa berubah melalui proses tawar-menawar. Hal itu bertentangan dengan prinsip ketetapan ilahiah yang pasti dan konsisten sejak zaman para nabi terdahulu.

Furqan untuk Orang Bertakwa

Nasution merujuk pada Q.S. Al-Anfal [8]:29 yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan furqan kepada orang-orang yang bertakwa:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا… ۝٢٩

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan…”

Artinya, kemampuan membedakan antara yang benar dan salah bukanlah hasil tradisi atau kebiasaan, melainkan buah dari ketakwaan dan kedekatan terhadap Al-Qur’an.

“Kita perlu menanamkan kembali pada umat, bahwa takwa itu bukan sekadar takut kepada Allah, tapi tunduk sepenuhnya pada hukum-Nya. Dengan takwa, barulah Allah memberikan furqan sebagai karunia,” ujar Nasution.

Menggugah Kesadaran Kolektif

Nasution juga menyoroti fenomena umat yang menganggap shadaqah sebagai amal tambahan atau sunnah, padahal dalam Q.S. At-Taubah [9]:60, disebutkan bahwa shadaqah adalah kewajiban dari Allah (faridhah). Begitu pula pemahaman terhadap Al-Qur’an sebagai kitab yang “cukup dibaca”, padahal dalam Q.S. Al-Qashash [28]:85, Allah menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah risalah yang diwajibkan atas Nabi untuk disampaikan.

اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍۗ قُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ مَنْ جَاۤءَ بِالْهُدٰى وَمَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ۝٨٥

“Selama umat tidak menghidupkan furqan, kita akan terus melanjutkan warisan keyakinan yang tidak disaring oleh wahyu. Maka, solusi paling mendasar adalah menjadikan Al-Qur’an kembali sebagai standar penilaian,” tegasnya.

Membangun Peradaban dari Furqan

Kajian ini merupakan bagian dari upaya membumikan kembali nilai-nilai Al-Qur’an di tengah umat, agar Islam tidak hanya menjadi identitas formal, tapi juga menjadi pedoman hidup yang teruji. Menurut Nasution, furqan adalah prasyarat terbangunnya masyarakat Qur’ani — masyarakat yang sadar akan batasan syariat dan mampu menimbang setiap langkah dengan standar ilahiah.

Program kajian ini dapat diakses ulang melalui kanal digital Syahida TV, dan telah mendapat respon positif dari berbagai kalangan, terutama generasi muda yang haus akan pendekatan keislaman yang argumentatif dan berbasis teks wahyu.(emha)

Example 120x600