ppmindonesia.com.Bogor – Manusia telah berhasil menembus langit. Satelit mengorbit bumi, teleskop menjangkau galaksi jauh, dan wahana antariksa sudah melintasi batas tata surya.
Namun, di tengah kemegahan pencapaian itu, satu pertanyaan fundamental justru mengemuka: ke mana arah semua ini dibawa? Apakah teknologi mendekatkan manusia pada Tuhan, atau justru menjauhkannya?
Dalam kajian Kajian Syahida, narasumber Husni Nasution mengangkat satu ayat penting yang sering luput dibaca secara tematik, yakni:
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ ٣٣
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (sulthān).” (QS Ar-Rahman: 33)
Menurut Husni, ayat ini tidak menolak kemajuan ilmu pengetahuan, bahkan justru mengafirmasi potensi eksploratif manusia, asalkan ditempuh dengan sulthān — kekuatan yang sah, baik dari sisi ilmu, moral, maupun izin ilahiah. Namun ia mengingatkan, jika sulthān hanya dipahami sebagai kekuatan teknologi semata, maka manusia akan kehilangan pijakan nilai, bahkan kehilangan arah.
Kemajuan Tanpa Hikmah
Kita hidup di zaman ketika kecerdasan buatan mampu memprediksi keputusan, robot menggantikan manusia, dan data pribadi bisa dimanipulasi oleh algoritma. Namun pada saat yang sama, krisis eksistensial justru semakin membesar: meningkatnya kesepian, kehilangan makna hidup, bahkan bunuh diri di negara-negara maju yang secara teknologi sangat unggul.
“Ini menunjukkan bahwa teknologi yang tidak dituntun wahyu bisa jadi menyesatkan. Menembus langit bukanlah prestasi sejati jika hati manusia tetap kosong,” ujar Husni dalam kajiannya.
Lebih jauh, ia mencontohkan kisah Nabi Musa dan hamba Allah dalam QS Al-Kahfi: 65–82. Musa, dengan segala keilmuan dan kenabiannya, tetap dituntut untuk belajar — dan dalam proses belajar itu, ia beberapa kali gagal karena tergesa menilai berdasarkan logika manusia. Padahal, ilmu sejati kadang baru terbuka setelah seseorang sabar, tunduk, dan menyadari keterbatasannya.
Inilah yang hilang dari banyak pendekatan teknologi saat ini: kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta.
Membangun Ulang Tujuan
Kemajuan teknologi seharusnya membawa manusia pada rasa takjub dan rendah hati, bukan pada kesombongan intelektual. Dalam QS Al-‘Alaq: 1–5, wahyu pertama menyuruh kita membaca, namun “dengan nama Tuhanmu” — artinya, aktivitas ilmiah harus terbingkai oleh ketundukan spiritual.
Tanpa nilai ketuhanan, manusia akan kehilangan arah dalam kemajuan. Seperti kendaraan canggih yang melaju kencang, tapi tanpa kompas dan tujuan.
“Islam tidak pernah memusuhi sains,” tegas Husni, “tapi Islam menolak sains yang pongah — sains yang tidak sadar bahwa ia hanyalah bagian dari rahmat Allah, bukan pengganti-Nya.”
Membumikan Langit, Meninggikan Hati
Menembus langit bukanlah tujuan akhir. Justru tantangan sesungguhnya adalah membumikan nilai-nilai langit dalam kehidupan sehari-hari. Teknologi tanpa Tuhan adalah seperti lampu yang terang tapi tanpa arah. Ia menyinari, tapi tidak membimbing.
Saat manusia berhasil menembus langit, saat itulah ia harus semakin menunduk. Karena kemajuan sejati bukanlah ketika kita mampu mengendalikan semesta, tetapi ketika kita mengendalikan diri dan menyadari bahwa semua pencapaian hanya mungkin karena izin-Nya.(syahida)