ppmindonesia.com.Bogor — Udara sore itu terasa teduh. Di ruang kajian yang sederhana namun hangat, jamaah duduk berdesakan. Di hadapan mereka, Husni Nasution membuka mushaf, menatap hadirin, lalu melontarkan pertanyaan yang menusuk:
“Apakah misi Rasulullah hanya untuk membuat kita jadi pribadi berakhlak sopan, atau untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi?”
Pertanyaan itu memecah hening. Sebagian jamaah menunduk, sebagian lain menatap penuh tanda tanya. Husni melanjutkan, suara tegas namun sarat empati.
“Kita sering mengutip hadis li utammima makarimal akhlak—‘Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia’. Dan benar, akhlak mulia adalah mahkota seorang Muslim. Tapi Al-Qur’an memberi gambaran misi Rasulullah yang jauh lebih besar.”
Husni pun membacakan firman Allah dalam QS At-Taubah (9):33:
> هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٣٣
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik membencinya.”
“Lihat,” tegasnya, “Allah menggunakan kalimat li yuzhirohu ‘aladdini kullihi—untuk menjadikannya menang di atas segala agama. Ini bukan sekadar perbaikan perilaku pribadi. Ini mandat peradaban. Ini perintah untuk menjadikan hukum Allah sebagai rujukan tertinggi di segala aspek kehidupan: politik, hukum, ekonomi, budaya.”
Husni kemudian mengutip QS Al-Fath (48):28, yang mengulang pesan serupa:
> هُوَ ٱلَّذِىٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا ٢٨
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”
“Kalau kita pahami ayat ini,” ujarnya, “maka menjadi jelas bahwa akhlak mulia adalah bagian dari misi besar itu—bukan pengganti misi besarnya.”
Ia menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada kritis, “Sayangnya, sebagian dakwah kita hari ini berhenti di wilayah moralitas personal. Kita sibuk memastikan tutur kata halus, tapi diam ketika hukum Allah diganti dengan hukum buatan manusia. Kita bangga menjaga senyum, tapi membiarkan kemungkaran menjadi legal.”
Pesan itu terasa menghujam ketika ia mengingatkan bagian akhir QS At-Taubah 9:33: walau karihal musyrikun—walaupun orang-orang musyrik membencinya.
“Artinya, perjuangan menegakkan agama Allah pasti menghadapi penolakan. Justru di situlah ujian iman. Akhlak mulia diuji ketika kita berani memperjuangkan kebenaran, bukan hanya ketika kita ramah di meja makan.”
Husni menutup kajian dengan analogi yang membekas di benak jamaah:
“Akhlak itu bunga yang indah, tapi pohonnya adalah tegaknya hukum Allah. Jika pohon itu tumbang, bunga akan layu. Maka, mari rawat bunga itu, tapi jangan biarkan pohonnya ditebang.”
Sore itu, para jamaah pulang dengan tatapan berbeda—seolah beban misi Rasulullah kini terasa di pundak mereka.(syahida)