Scroll untuk baca artikel
BeritaDaerah

Wong Pati Ditantang! Sejarah Perlawanan Pajak dari Era Kerajaan hingga 2025

20
×

Wong Pati Ditantang! Sejarah Perlawanan Pajak dari Era Kerajaan hingga 2025

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Pati — Tantangan terbuka Bupati Pati Sudewo kepada masyarakat untuk menggelar demonstrasi besar-besaran terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen akhirnya berbalas. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, Rabu (13/8/2025), memenuhi tantangan itu dengan mengerahkan sekitar 100 ribu orang ke depan Kantor Bupati di Jalan Tombronegoro, Pati.

Aksi ini menjadi salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah Pati modern. Meski kebijakan kenaikan PBB itu telah dibatalkan, rakyat tetap turun ke jalan—bukan sekadar menolak tarif pajak yang dinilai mencekik, tetapi juga melampiaskan kekecewaan atas sikap arogansi pemimpin daerahnya.

“Siapa yang mau menolak, silakan! Jangan cuma 5.000 orang, 50 ribu orang pun kerahkan, saya tidak akan gentar dan tidak akan mengubah keputusan,” ujar Sudewo dalam sebuah video yang viral beberapa waktu lalu.

Nyatanya, bukan hanya 50 ribu, tapi dua kali lipat massa memenuhi pusat kota Pati. Aksi sempat ricuh, massa melempari aparat dengan botol air mineral, sementara polisi membalas dengan gas air mata. Demonstran bahkan berhasil menerobos masuk ke Kantor Bupati dan Gedung DPRD Pati.

Dari Tantangan Bupati ke Hak Angket DPRD

Buntut kericuhan, DPRD Kabupaten Pati sepakat menggulirkan hak angket untuk membentuk panitia khusus (pansus) pemakzulan Bupati.

Ketua Fraksi PKS, Narso, menyebut kebijakan menaikkan PBB hingga 250 persen, meskipun dibatalkan, telah menimbulkan kegaduhan dan menggerus kepercayaan publik.

Senada, Anggota DPRD Partai Demokrat, Joni Kurnianto, menilai Sudewo melanggar sumpah jabatan. Fraksi Gerindra dan PKB juga menyuarakan hal serupa, menekankan pentingnya transparansi dan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

Ketua DPRD Pati, Ali Badrudi, akhirnya mengetok palu tanda dimulainya proses hak angket. “Pansus ini akan mengusut kebijakan Bupati Pati secara mendalam,” tegasnya.

PPM Nasional: Pemimpin Harus Bijaksana

Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional ikut bersuara. Sekjen PPM, Anwar Hariyono, mengingatkan bahwa kepala daerah, meski dipilih rakyat secara demokratis, tidak boleh bersikap arogan dalam mengambil kebijakan publik.

“Apalagi dalam situasi ekonomi sulit seperti sekarang, menaikkan pajak hingga 250 persen jelas melukai hati rakyat,” ujarnya.

Aktivis PPM, Defri Cane Nasution, menambahkan bahwa sebaiknya Sudewo mengundurkan diri demi kondusivitas Pati. “Jangan sampai demo berjilid-jilid ini merusak stabilitas daerah dan merembet ke pusat,” katanya.

Pati dan Sejarah Panjang Perlawanan Pajak

Bagi orang luar, gelombang protes ini mungkin mengejutkan. Tapi bagi Wong Pati, melawan pajak yang dianggap zalim bukanlah hal baru. Sejarah mencatat, dari era kerajaan hingga kolonial, Pati kerap menjadi pusat perlawanan rakyat terhadap pungutan yang memberatkan.

Berikut catatan singkat perlawanan pajak di Pati dari masa ke masa:

  1. ±1500-an – Protes terhadap Kerajaan Demak atas kenaikan pajak hasil bumi ±30% (Era Tombronegoro).
  2. 1540-an – Menolak setoran pajak ke Demak (kenaikan ±20%) dan beralih dukungan ke Kerajaan Pajang (Era Ki Penjawi).
  3. 1620-an – Penolakan upeti beras besar-besaran kepada Sultan Agung (kenaikan ±40%) (Era Adipati Pragola I).
  4. 1627–1628 – Pemberontakan Pajak Besar Pati (kenaikan ±50%) di era Adipati Pragola II.
  5. 1670-an – Perlawanan pajak kepada Amangkurat I (kenaikan ±35%) (Era Pragola III).
  6. 1740–1743 – Geger Pecinan, rakyat Pati menyerbu pos VOC akibat pajak pelabuhan ±40%.
  7. 1811–1816 – Era Daendels–Raffles, pajak tanah naik ±30% per tahun (Tokoh: Ki Kromo Pati).
  8. 1830 – Cultuurstelsel, kewajiban tanam paksa setara pajak ±66% hasil panen.
  9. 1880-an – Perlawanan Ki Samin Surosentiko atas pajak tanah & hasil bumi (kenaikan ±25%).
  10. 1942–1945 – Pajak “tenaga” Jepang (romusha ±60 hari/tahun).
  11.  1965–1966 – Pajak Orde Baru naik ±15% dari hasil panen.
  12. 1998 – Tuntutan reformasi pajak & penghapusan pungli ±10% dari harga jual hasil bumi.
  13. 2025 – Kenaikan PBB-P2 ±250%, tertinggi dalam sejarah Pati.

Bahkan penjajah Belanda pun tak pernah menaikkan pajak setinggi itu.

Bukan Sekadar Pajak

Peneliti ISEAS, Made Supriatma, menilai kasus Pati memantik keresahan nasional.

“Isunya pajak. Pemerintahan Prabowo–Gibran sedang agresif memungut pajak di setiap sudut—dari parkir, kondangan, beli kolor, jual tanah, hingga warisan dan rokok. Saya yakin Jakarta nervous melihat ini,” tulis Made di akun media sosialnya.

Gelombang Pati bisa menjadi inspirasi perlawanan serupa di daerah lain, apalagi jika rakyat merasa pajak dipungut tanpa memperhatikan kemampuan mereka.

Pati Butuh Pemimpin yang Mengerti Rakyat

Sejarah membuktikan, rakyat Pati selalu berdiri tegak melawan penindasan. Dari masa Pragola hingga era reformasi, semangat Wong Pati tetap sama: menolak kebijakan yang mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan segelintir orang.

Pati membutuhkan pemimpin yang mengerti masalah, paham jalan keluar, dan mampu membawa kesejahteraan tanpa membebani rakyat dengan pajak yang mencekik.

Karena bagi Wong Pati, harga diri dan keadilan tak bisa dibeli dengan angka persentase.(acank)

 

Example 120x600