ppmindonesia.com.Jakarta – Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin mengakui sulit mendapat uang halal sebagai politikus atau anggota DPR RI. Ia tidak sedang melontarkan janji kampanye atau retorika pembelaan rakyat. Yang keluar justru sebuah pengakuan gamblang—dan langka—tentang sulitnya menjadi “bersih” di Senayan.
“Jangankan di organisasi, di keluarga saja saya tidak selalu terus terang soal uang. Dari mana dapatnya? Yang penting istri dan anak tercukupi. Hanya saja, saya berusaha memastikan cara mendapatkannya halalan toyyiban,” katanya.
Pengakuan ini seperti membuka sedikit tirai di panggung politik nasional. Bagi publik, dugaan adanya “uang gelap” di perpolitikan bukan hal baru. Namun, kali ini, pengakuan datang dari seorang politikus dua periode—secara sadar, di depan publik.
Korupsi Sebagai Budaya
Aktivis PPM Nasional, Depri Cane Nasution, menilai ucapan Arse menegaskan realitas yang sudah lama dirasakan rakyat. “Kalau memang demikian, berarti korupsi—atau istilahnya ‘maling’—sudah menjadi napas politik di Indonesia,” ujarnya.
Ia skeptis bahwa penambahan dana partai politik, yang tengah didorong Arse dan sejumlah politisi, akan menghapus perilaku tersebut. “Mental ini sudah tertanam sejak mereka mahasiswa. Waktu jadi aktivis, mereka bicara soal kedekatan dengan rakyat dan perang melawan korupsi. Tapi setelah duduk di kursi DPR, alasannya berubah: kalau partai dapat dana besar, korupsi hilang. Inilah mental politisi yang haus kekuasaan,” tegasnya.
Jejak Ucapan Kontroversial
Ucapan Arse bukan satu-satunya yang mencerminkan cara pandang permisif terhadap praktik politik uang. Dalam dua tahun terakhir, sejumlah anggota DPR lain mengeluarkan pernyataan yang menghebohkan publik.
29 Maret 2023, rapat dengan Menkopolhukam Mahfud MD. Saat pemerintah mendorong RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal, politisi PDI-P Bambang Wuryanto menimpali:
“Kalau Pembatasan Uang Kartal, pasti DPR nangis semua. Masa bagi duit pakai e-wallet cuma 20 juta lagi? Nggak bisa, Pak. Nanti mereka nggak jadi lagi.”
4 April 2023, rapat dengan Direktur Utama Pertamina. Anggota DPR Fraksi Gerindra, Ramson Siagian, terang-terangan mengeluhkan hilangnya “tradisi” bantuan sarung untuk dapilnya.
“Kalau periode kemarin, saya WA Bu Dirut langsung dikirim dua ribu sarung. Sekarang satu sarung pun nggak bisa,” ucapnya.
Politisi Golkar Melchias Markus Mekeng bahkan pernah berucap:
“Kalau makan uang haram kebanyakan, Tuhan akan membukanya. Kalau kecil-kecil, ya okelah.”
Normalisasi “Uang Haram”
Rangkaian pernyataan ini membentuk pola yang mengkhawatirkan: praktik gratifikasi dan politik uang bukan hanya terjadi, tapi juga dianggap lumrah—bahkan layak diceritakan di forum resmi.
Bagi rakyat, pesan yang tersirat jelas: aspirasi tidak akan berjalan tanpa imbalan. Sebaliknya, politisi cenderung mengukur kepentingan publik melalui potensi keuntungan pribadi atau partai.
Perspektif Akademisi
Indonesianis dari Universitas New South Wales (UNSW) Sydney, Prof. David Reeve, menilai satu-satunya cara memutus rantai ini adalah hukum yang ketat dan sanksi berat.
“Harus ada larangan yang jelas dan terperinci. Jika terbukti melanggar, mereka harus keluar dari DPR,” ujarnya.
Menurut Reeve, ancaman hukuman yang nyata dan pengawasan yang efektif lebih mempan daripada mengandalkan moral pribadi politisi. “Praktik buruk dalam politik akan ditinggalkan hanya ketika konsekuensinya cukup berat,” tegasnya.
Senayan dan Realitas yang Terbuka
Pengakuan, candaan, hingga keluhan yang diucapkan para politisi ini, jika dirangkai, menggambarkan realitas politik yang jarang terdokumentasi secara resmi: budaya uang gelap yang menyusup dalam hampir setiap mekanisme kekuasaan.
Bagi publik, ini bukan sekadar soal etika. Ini adalah sinyal bahwa integritas di Senayan—jika tidak dijaga dengan sistem hukum yang tegas—akan terus tergerus oleh tradisi yang diwariskan dari satu periode ke periode berikutnya.(acank)