ppmindonesia.com.Jakarta – Gelombang kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) di sejumlah daerah dalam beberapa bulan terakhir memicu gejolak sosial. Kasus terbaru terjadi di Pati, Jawa Tengah, yang sempat berencana menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen. Rencana tersebut akhirnya dibatalkan setelah Presiden Prabowo Subianto menegur Bupati Pati Sudewo.
Meski dibatalkan, aksi protes tetap meletup. Sekitar 25.000 warga memadati Alun-Alun Pati pada 13 Agustus lalu, menuntut Sudewo mundur dari jabatannya. Fenomena serupa juga terjadi di daerah lain seperti Jombang, Cirebon, Semarang, dan Bone.
Di Jombang, Jawa Timur, seorang warga bernama Heri Dwi Cahyono (61) mengaku terkejut karena PBB tanahnya pada 2024 naik hingga 1.202 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Bupati Jombang Warsubi menegaskan kenaikan tersebut merupakan dampak penyesuaian Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 yang disusun berdasarkan rekomendasi pemerintah pusat, bukan kebijakan sepihak pemerintahannya.
Kasus di Semarang, Cirebon, dan Bone pun menunjukkan tren serupa: penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) memicu lonjakan PBB-P2 secara drastis, dengan klaim pemerintah daerah bahwa kebijakan tersebut adalah penyesuaian regulasi, bukan sekadar kenaikan tarif.
Mengapa PBB-P2 Naik?
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menjelaskan bahwa kenaikan PBB-P2 didorong kebutuhan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah tuntutan kemandirian fiskal pasca-desentralisasi.
“PBB-P2 menjadi instrumen yang relatif cepat dioptimalkan karena penyesuaian NJOP ada di tangan pemerintah daerah,” ujarnya.
Perlambatan transfer pusat, berkurangnya dana bagi hasil, dan stagnasi retribusi membuat target pendapatan APBD sulit tercapai. Alih-alih mengembangkan sumber penerimaan baru, banyak daerah memilih jalur instan menaikkan tarif PBB-P2.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menambahkan bahwa logika birokrasi cenderung melihat kenaikan pajak sebagai solusi cepat menutup defisit fiskal, meski risiko sosialnya tinggi.
Risiko dan Dampak Sosial
Kenaikan PBB-P2 secara drastis berpotensi menimbulkan tax shock yang memukul daya beli, terutama masyarakat menengah ke bawah. Resistensi publik dapat berupa penunggakan pajak, protes sosial, hingga gugatan hukum terhadap penetapan NJOP.
Dalam jangka panjang, iklim investasi di sektor properti dan konstruksi bisa terganggu. Lebih serius lagi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah bisa runtuh jika pajak naik tanpa transparansi penggunaan.
“Rakyat yang merasa dibebani tanpa imbal balik layanan memadai akan kehilangan kepercayaan pada pemda. Efek jangka pendeknya protes, jangka panjangnya reputasi politik kepala daerah hancur,” kata Syafruddin.
Suara dari PPM Nasional
Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, Anwar Hariyono, menilai fenomena ini sebagai bukti minimnya kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi efisiensi anggaran pusat sebesar 5 persen. Padahal, dana dari pemerintah pusat bersifat stimulus, bukan sumber utama.
“Banyak pemda memilih cara instan menaikkan pajak, karena kurang inovatif dalam mengelola potensi lokal seperti pariwisata, pertanian, perikanan, dan aset daerah. Kebocoran anggaran juga dibiarkan, sementara pengeluaran untuk hal-hal tidak perlu, seperti rapat mewah di hotel, terus terjadi,” ujar Anwar.
Ia menambahkan, budaya dan mental sebagian pejabat daerah masih terbalik: ingin dilayani, bukan melayani. Padahal, dalam situasi ekonomi sulit, seharusnya kepala daerah yang baru terpilih hasil Pemilu 2024 merangkul masyarakat, mendorong partisipasi warga dalam pembangunan, dan mengoptimalkan potensi desa melalui BUMDes.
“Rakyat jangan hanya dijadikan objek pembangunan, tapi harus menjadi subjek. Kepala daerah yang visioner akan mengajak masyarakat membangun bersama, bukan sekadar mengandalkan kedekatan dengan partai atau tokoh berpengaruh,” tegasnya.
Alternatif Solusi: Tidak Harus Naikkan PBB-P2
Para ekonom sepakat, pemda punya banyak opsi untuk meningkatkan PAD tanpa menekan daya beli rakyat.
- Memperluas basis pajak dengan pendataan objek pajak digital dan penutupan kebocoran.
- Mengoptimalkan BUMD di sektor potensial seperti air bersih, energi, dan pariwisata.
- Mengelola aset daerah melalui kerja sama pemanfaatan atau skema KPBU.
- Mendorong ekonomi desa lewat BUMDes, UMKM, dan sektor produktif lokal.
Strategi ini memang memerlukan waktu, kapasitas, dan tata kelola yang kuat, tetapi hasilnya lebih stabil dan tidak menimbulkan gejolak sosial.(acank)