Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

20 Persen Anggaran Pendidikan, Sejauh Mana Menyentuh Nasib Guru?

10
×

20 Persen Anggaran Pendidikan, Sejauh Mana Menyentuh Nasib Guru?

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com. Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah dalam pidato kenegaraan untuk terus memenuhi amanat konstitusi, yakni alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari belanja negara. Pada RAPBN 2026, jumlahnya bahkan mencapai Rp757,8 triliun, terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Presiden menyebut pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) unggul dan berdaya saing global. Sejalan dengan itu, sejumlah kepala daerah seperti Gubernur Jawa Tengah juga mendorong percepatan pembangunan sekolah vokasi serta optimalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja.

Namun di balik besarnya alokasi anggaran pendidikan, muncul ironi yang menohok: kesejahteraan guru masih jauh dari kata layak.

Guru Masih Berjuang dengan Gaji Minim

Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, Anwar Hariyono, menilai peningkatan kualitas SDM tidak mungkin terwujud tanpa memperhatikan kesejahteraan guru.

“Bagaimana kita bisa mencetak generasi unggul, kalau para pencetak generasi itu sendiri hidup dalam kesusahan? Banyak guru honorer di daerah hanya menerima gaji Rp200 ribu–Rp1 juta per bulan, tanpa tunjangan rumah, listrik, transportasi, apalagi fasilitas seperti anggota DPR,” tegas Anwar.

Menurutnya, anggota DPR yang kini menikmati total penghasilan lebih dari Rp70 juta per bulan seharusnya tidak melupakan jasa guru dan dosen yang telah mendidik mereka. “Sungguh ironi negeri ini, guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi nasib mereka terus terabaikan,” tambahnya.

Polemik Sri Mulyani: ‘Guru Beban Negara’

Ketimpangan ini makin ramai diperbincangkan usai beredarnya potongan video Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang disebut menyebut “guru adalah beban negara.” Video tersebut kemudian dibantah keras Kementerian Keuangan dan dinyatakan sebagai hoaks hasil deepfake.

“Faktanya, Menteri Keuangan tidak pernah menyatakan guru adalah beban negara,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro. Menurutnya, publik harus bijak bermedia sosial dan tidak mudah menyebarkan isu menyesatkan.

Meski demikian, perdebatan publik justru menunjukkan satu hal: isu kesejahteraan guru adalah luka lama yang belum sembuh.

P2G: Anggaran Tak Menyentuh Masalah Mendasar

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi kenaikan anggaran pendidikan, namun menilai alokasinya tidak proporsional. Dari total Rp757,8 triliun, sekitar Rp335 triliun atau 44,2 persen dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

“Kami terkejut, hampir separuh anggaran pendidikan dipakai untuk MBG. Padahal banyak persoalan mendasar, khususnya kesejahteraan guru, yang belum disentuh,” kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim.

Kabid Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menambahkan bahwa janji kampanye Prabowo-Gibran untuk menetapkan standar upah minimum guru non-ASN belum terealisasi. “Masih banyak guru PAUD, madrasah swasta, hingga guru honorer yang digaji Rp200 ribu–Rp500 ribu per bulan. Insentif Rp300 ribu bukan hadiah, itu hak guru yang seharusnya dipenuhi negara,” tegasnya.

Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda Dipertanyakan

P2G juga menyoroti munculnya program Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda yang dinilai menimbulkan tumpang tindih tata kelola. Anggaran pembangunan 200 Sekolah Rakyat mencapai Rp24,9 triliun, dan 9 SMA Unggul Garuda Rp9 triliun.

“Kontras sekali, revitalisasi 12.560 sekolah dan madrasah hanya mendapat Rp22,5 triliun, padahal menampung jutaan murid. Sedangkan Sekolah Rakyat hanya menampung sekitar 100 ribu murid,” jelas Iman dilansir dari inilah.com

Antara Harapan dan Kenyataan

Presiden Prabowo berulang kali menegaskan pendidikan bermutu adalah jalan mencetak SDM unggul. Namun di lapangan, para guru yang menjadi ujung tombak pendidikan masih berjuang dengan gaji minim dan tunjangan yang jauh dari layak.

“Negara ini sering memuja guru dengan istilah ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Tapi jangan jadikan itu alasan untuk membiarkan mereka hidup dalam kesusahan,” pungkas Anwar Hariyono dari PPM.

Jika pemerintah serius dengan komitmen 20 persen anggaran pendidikan, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah: apakah dana jumbo itu benar-benar menyentuh kesejahteraan guru—atau sekadar habis untuk program-program yang gemerlap namun tidak menyelesaikan akar masalah pendidikan? (acank)

 

Example 120x600